Asri Nugroho Pakurimba

IM.com – ‎Sebuah percakapan antara Rokimdakas dari inilahmojokerto.com dengan Asri Nugroho.

‎Tanya: Kalau kamu meninggal, apakah lukisanmu masih bisa diterima pasar?
‎Jawab (Asri Nugroho): (Tersenyum) Aku yakin setelah mati lukisanku masih laku.

‎Pertanyaan itu saya lontarkan di sela pameran tunggal Asri Nugroho Pakurimba, atau akrab disapa Nug, di Ciputra World Surabaya (23/8/2025). Usianya kini 73 tahun, masa ketika pertanyaan tentang kematian bukan lagi sesuatu yang ditakuti melainkan realitas yang siap disambut dengan kesadaran.

‎Nug tidak marah dengan pertanyaan saya. Ia malah menanggapinya dengan senyum yang penuh arti. Mungkin karena persahabatan kami memang sudah lama terjalin dengan gaya bicara blak-blakan tanpa basa-basi.

‎Tanya: Kamu kok yakin, Nug? Sedangkan banyak pelukis yang setelah meninggal, karyanya ikut “mati” karena pasar melupakan. Bahkan kolektor merugi besar, terpaksa menjual murah karya yang dulunya mereka beli dengan harga tinggi.
‎Jawab: Perlu diketahui, popularitasku cukup terjaga. Aku masih cukup produktif, sering ikut pameran bersama maupun tunggal. Kolektor pun masih apresiatif.

‎Tanya: Apakah sekarang kamu punya ratusan karya yang tersisa?
‎Jawab: Tidak sampai ratusan tapi cukup banyak di rumah.

‎Tanya: Banyak pelukis yang setelah meninggal, ternyata keluarga tidak mewarisi karya apa-apa. Semua sudah habis terjual. Keluarga pun kehilangan jejak warisan seni yang seharusnya bisa menjadi pegangan.
‎Jawab: Kalau aku sih cukup banyak lukisan yang kusimpan di rumah. Itu mungkin bisa jadi peninggalan untuk keluargaku.

‎Tanya: Tapi faktanya, banyak teman kita yang meninggal dan karya mereka susah dijual. Kenapa bisa begitu?
‎Jawab: Itu faktor bejo, keberuntungan. Tidak semua orang lahir untuk sejahtera. Ada yang bekerja keras, ada yang bekerja cerdas, tapi tetap saja ada unsur “bejo”. Kalau orang sudah dapat bejo, hidupnya beruntung. Itu nggak bisa dibicarakan, apalagi ditawar-tawar.

‎Tanya: Jadi kamu merasa “bejo”?
‎Jawab: Ya, saya merasa beruntung bisa sampai di titik ini.

‎PASAR YANG MATI

‎Pernyataan Nug tentang “bejo” sebetulnya menyimpan ironi besar dalam dunia seni rupa Indonesia. Pasar seni kita kerap tidak dibangun di atas sistem yang kokoh melainkan pada popularitas sesaat.

‎Selama seniman masih hidup, pameran masih digelar, komunitas masih menyebut-nyebut namanya, karyanya bisa bernilai. Namun begitu senimannya wafat, pasar perlahan menutup buku. Mengapa ini terjadi?

‎Ada beberapa alasan:
‎Absennya Narasi Kuratorial Jangka Panjang.
‎Banyak seniman berkarya tanpa dukungan dokumentasi dan kurasi serius. Ketika ia meninggal, tidak ada “cerita” yang bisa terus menjaga nyawa karyanya. Tanpa narasi, karya seni hanyalah cat di atas kanvas, bukan bagian dari sejarah.

‎Ketiadaan Manajemen Warisan Seni.
‎Di luar negeri, karya seniman biasanya dikelola yayasan atau estate yang mengurus arsip, pameran retrospektif, hingga distribusi karya. Di Indonesia, sebagian besar keluarga seniman tidak siap mengelola. Akhirnya, karya tercecer, nilainya jatuh.

‎Kolektor yang Spekulatif.
‎Banyak kolektor membeli karya bukan karena kecintaan melainkan karena berharap nilai investasi. Begitu pasar tidak lagi menguntungkan, mereka melepas dengan harga rendah. Karya pun kehilangan martabat.

‎Minimnya Peran Negara dan Lembaga Seni
‎Museum, galeri nasional maupun lembaga kebudayaan kita masih jarang memberi tempat khusus pada seniman yang sudah wafat. Padahal, kalau ada keberlanjutan institusional, pasar bisa tetap hidup.

‎PAMERAN SEHARI

Asri Nugroho foto bersama rekan pada pameran tunggalnya ke-10 di Ciputra World, Agustus lalu.

‎Dalam pameran tunggalnya “Gathering” yang hanya sehari, Nug menampilkan 20 karya dengan simbol-simbol khas: pecahan logam, potongan kaca, gelembung air—metafora spiritualitas yang melekat pada dirinya.

‎Keputusan hanya sehari itu unik. Nug menyebut, “Biasanya pameran ramai di hari pembukaan saja. Jadi kenapa tidak saya padatkan sehari? Lebih hidup, lebih hangat.” Namun justru dari kepraktisan itu, kita bisa membaca filsafat hidupnya: momentum lebih penting daripada panjangnya waktu.

‎Nug adalah contoh seniman yang tetap teguh berkarya di usia senja. Ia memelihara simbol, doa dan spiritualitas dalam setiap garis. Ia juga masih percaya pada “bejo” sebagai faktor penentu nasib.

‎Tapi di balik keyakinan itu, ada kritik keras untuk ekosistem seni rupa kita, pasar yang seringkali mati bersama senimannya. Jika kita tidak membangun sistem dokumentasi, manajemen warisan dan apresiasi institusional maka karya-karya seni hanya akan hidup sebentar lalu tenggelam bersama jasad penciptanya.

‎Dan kelak, pertanyaan yang saya ajukan kepada Nug akan terus menggema pada seniman-seniman lain:
‎“Kalau kamu meninggal, apakah lukisanmu masih bisa diterima pasar?” (kim)

20

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini