Salah satu karya tari kontemporer yang menghiasi Sawung Dance Festival 2025

IM.com – Tubuh adalah arsip yang tidak pernah berhenti menulis. Ia merekam getar bumi, gejolak politik, hingga ingatan terkecil. Dalam setiap lengkung bahu, setiap tarikan napas, setiap otot gemetar, tersimpan riwayat yang lebih jujur daripada catatan sejarah resmi. Sawung Dance Festival 2025 mencoba membaca ulang arsip itu lewat tema besar Tremor: Bodies at The Edge of Change atau Getaran Tubuh di Ambang Perubahan.

‎Tema tersebut bukan sekadar pilihan artistik, melainkan refleksi zaman. Kita hidup di era yang penuh guncangan,  krisis iklim yang tak terbantahkan, perang dan migrasi yang memisahkan banyak keluarga, pandemi yang masih meninggalkan jejak trauma, hingga derasnya arus teknologi yang mengguncang cara kita berhubungan. Di tengah pusaran itu, tubuh menjadi ruang paling jujur untuk memahami dan merespons perubahan.

‎Sawung Dance Festival 2025 berlangsung di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya, jl. Gentengkali Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 19-20 September 2025.

‎Sejak pertama kali digelar pada 2015, Sawung Dance Festival telah menjadi satu-satunya festival tari kontemporer di Surabaya dan Jawa Timur. Dalam satu dekade perjalanannya, ia bukan hanya menyajikan pertunjukan tari melainkan ruang perenungan bersama tentang tubuh. Tahun ini, memasuki edisi keenam, Sawung Dance Festival semakin matang dengan keberanian tematik.

‎“Tremor” dipilih sebagai metafora yang mendalam. Getaran tubuh bisa menjadi tanda krisis, transisi, bahkan harapan. Tubuh yang menggigil di tengah dinginnya ketidakpastian, tubuh yang bergetar oleh keterasingan atau tubuh yang menolak dan mencatat sejarah. Semuanya adalah resonansi zaman. Melalui koreografi, para seniman menghadirkan tubuh sebagai medium kritik, ritual sekaligus penyembuhan.

Penampilan penari muda pada Sawung Dance Festival 2025 menjadi bukti bahwa generasi muda sedang menulis babak baru peta tari Jawa Timur.

Jejak Panjang Seorang Maestro

‎Kehadiran koreografer senior Hartati dalam festival ini menjadi semacam jembatan memori. Dengan lebih dari 40 tahun berkarya, ia tidak hanya menampilkan tari, melainkan sebuah lecture performance yang merangkum perjalanan hidupnya.

‎“Sebetulnya yang saya bawakan bukan karya tari semata melainkan presentasi perjalanan saya hampir 40 tahun,” tuturnya di Gedung Cak Durasim Surabaya, 19 September 2025.

‎Hartati berbicara tentang kasus-kasus perempuan, tradisi keluarga, hingga pengalamannya hidup di kota besar seperti Jakarta. Semua itu ia jahit dalam tubuh dan gerak.

‎Penampilannya bukan sekadar nostalgia melainkan ajakan untuk merenungkan kembali pentingnya ruang inkubasi seni. Menurut Hartati, dunia tari di Indonesia masih kekurangan ruang yang memberi napas panjang bagi generasi muda setelah lulus dari sekolah seni.

‎Pesannya sederhana, tapi mendesak, tari bukan sekadar pelengkap upacara  melainkan bahasa ekspresi yang merekam kegelisahan masyarakat. Karena itu, ruang-ruang seperti Sawung Dance Festival adalah oase yang harus terus dijaga.

‎Di sisi lain, festival ini juga menjadi panggung bagi generasi baru. Koreografer muda Ari Ersandi asal Lampung menafsirkan tema Tremor sebagai simbol kegelisahan sekaligus ruang membaca ulang makna pengorbanan. Karyanya adalah refleksi atas riset tentang bioakustik dan biomoni, proses mendengar ulang tubuh dan lingkungan.

‎“Saat tema itu diangkat, saya langsung melihat dua sisi. Tremor terasa seperti sesuatu yang tidak baik-baik saja. Tapi di sisi lain, ia menjadi tantangan untuk dibaca dalam konteks kebersamaan,” ujar Ari. Baginya, festival adalah pertemuan lintas generasi yang memperkaya perspektif.

‎Selain Ari, program Karya Bertumbuh menghadirkan empat koreografer muda Jawa Timur, yaitu Adam Mustofa (Ponorogo), Angga I Tirta (Surabaya), Mistahul Jannah (Banyuwangi), dan Nia Anggraini (Surabaya). Mereka mengikuti residensi intensif bersama Hari Gulur, koreografer asal Madura yang karyanya telah melintasi panggung dunia.

‎Lewat pendampingan itu, keempatnya tidak hanya menciptakan karya tetapi juga belajar bagaimana tubuh bisa berbicara melampaui sekat ruang dan waktu. Showcase yang mereka tampilkan pada 19–20 September 2025 menjadi bukti bahwa generasi baru sedang menulis babak baru arsip tubuh Jawa Timur.

‎Resonansi Kolektif

‎Direktur Sawung Dance, Sekar Alit, menekankan bahwa tubuh tidak pernah netral. Ia merekam, menolak, menggigil, menggetar atau membeku di ambang perubahan. Tremor adalah metafora sekaligus realitas,” ujarnya. Pernyataan ini menegaskan bahwa festival bukan sekadar peristiwa seni tetapi pertemuan resonansi kolektif.

‎Program lain, seperti Residensi Reset Artistik, mempertemukan praktisi seni dari Surabaya, Malang, Madiun, dan Tulungagung. Mereka meneliti praktik artistik selama festival lalu mengaitkannya dengan pengalaman komunitas masing-masing.

‎Dengan cara itu, Sawung Dance Festival tidak hanya berhenti pada panggung, tetapi tumbuh sebagai ekosistem yang menyuburkan akar seni di Jawa Timur.

‎Hartati dengan arsip panjangnya, Ari dengan kegelisahan barunya, dan generasi muda Jawa Timur dengan karya-karya segar mereka, semuanya menjadi bab dalam buku tubuh yang sedang ditulis bersama.

‎Sawung Dance Festival adalah upaya membaca arsip itu dengan penuh kesadaran: bahwa setiap getar tubuh adalah tanda perubahan, mungkin krisis, mungkin harapan.

‎Di Surabaya, lewat Sawung Dance Festival, arsip itu dibuka, dibaca dan dirayakan bersama. (kim)

12

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini