Patung WR Soepratman berdiri menawan di area makam pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya.

IM.com – ‎Di tengah arus globalisasi yang kerap mengikis nilai kebangsaan, sebuah gerakan sederhana namun sarat makna digelorakan kembali dari Surabaya: “Ayo Nyanyikan Kembali Indonesia Raya 3 Stanza.”

‎Gerakan ini diinisiasi Yayasan WR Soepratman bersama sejumlah komunitas, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda dan 97 tahun lahirnya lagu kebangsaan Indonesia.

‎Tidak sekadar ajakan bernyanyi, gerakan ini dimaknai sebagai upaya merevitalisasi pesan mendalam dari lagu Indonesia Raya versi asli ciptaan Wage Rudolf Soepratman, yang sejak awal ditulis dalam tiga stanza penuh. Dalam bait-bait panjangnya tersimpan semangat persatuan, doa kebahagiaan, hingga sumpah setia menjaga tanah air.

‎Ketua Panitia, Rudy M. Mintarto, menegaskan bahwa menyanyikan kembali tiga stanza Indonesia Raya bukan sekadar nostalgia, melainkan upaya menghidupkan doa yang pernah dipanjatkan para pendiri bangsa. “Di dalamnya ada pesan persatuan, kesadaran spiritual, dan janji menjaga tanah air. Itu warisan moral yang perlu terus kita hidupkan,” ujarnya.

‎Budi Harry, Ketua Yayasan WR Soepratman berharap agar generasi muda tak hanya menghafal bait pertama, melainkan juga memahami makna menyeluruh dari tiga stanza yang diciptakan. “Inilah doa bangsa yang diwariskan kepada kita semua,” katanya.

‎*Jejak Sejarah Lagu Kebangsaan*

‎Wage Rudolf Supratman—wartawan sekaligus komponis—pertama kali memperdengarkan Indonesia Raya secara instrumental dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Gesekan biolanya membuat suasana hening pecah dengan haru. Lirik lengkapnya baru dipublikasikan beberapa bulan kemudian melalui harian Sin Po yang mencetak 5.000 eksemplar, membuat lagu itu menyebar ke seluruh penjuru negeri dan menjelma simbol perlawanan serta persatuan bangsa.

‎Awalnya, Indonesia Raya memang terdiri dari tiga stanza. Namun, sejak diberlakukannya PP No. 44 Tahun 1958 yang kemudian diperkuat dengan UU No. 24 Tahun 2009, lagu kebangsaan cukup dinyanyikan pada satu stanza pertama dalam acara resmi kenegaraan. Alasan utamanya: menjaga khidmat upacara dan menyesuaikan durasi.

‎Meski demikian, pemerintah sempat menghidupkan kembali tradisi tiga stanza lewat Permendikbud No. 22 Tahun 2018 dalam dunia pendidikan. Hanya saja, generasi sekarang umumnya hanya hafal stanza pertama, padahal dua stanza berikutnya menyimpan pesan spiritual dan janji luhur menjaga pusaka Nusantara.

‎Peringatan di Pusara Pencipta Lagu

‎Sebanyak 30 komunitas pecinta tanah air di Surabaya terlibat dalam aksi peringatan ini, di antaranya Relawan Inti Surabaya, BGRP, KOBAR, Buleks Community 99, Komunitas Kebaya Indonesia DPC Surabaya, Begandring Surabaya, dan LSM Jas Merah.

‎Acara digelar Selasa, 28 Oktober 2025, di makam WR Soepratman, Jalan Kenjeran, Rangkah, Surabaya. Dengan tajuk teatrikal “Sumpah di Hadapan Sang Pencipta Indonesia Raya”, acara dikemas sakral, heroik, reflektif, sekaligus penuh syukur.

‎Rangkaian kegiatan dimulai dengan pengantar sejarah, sambutan tokoh masyarakat, doa lintas iman, hingga pertunjukan teatrikal yang menghadirkan suasana Kongres Pemuda 1928. Dalam adegan utama, hadirin bersama-sama mengucapkan Sumpah Pemuda dan kemudian menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh penghayatan.

‎Puncak acara ditandai dengan tabur bunga di pusara WR Soepratman, dilanjutkan slametan atau tasyakuran sebagai wujud syukur dan kebersamaan. Keseluruhan acara berlangsung tanpa batas formalitas antara undangan, pemain, dan hadirin—semua larut dalam semangat persatuan.

‎*Menghidupkan Doa dalam Lagu*

‎Melalui gerakan ini, para pecinta tanah air berharap Indonesia Raya kembali dipahami sebagai doa kolektif dan ikrar kebangsaan, bukan sekadar lagu pembuka upacara.

‎Dari pusara penciptanya, pesan itu bergema lagi: Indonesia bukan hanya tanah air, melainkan janji abadi untuk terus dijaga, dicintai, dan dimuliakan. (kim)


13

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini