Rute baru yang mencemaskan, peserta jalan berdekatan dengan kendaraan yang bergerak merayap. (anto)

IM.com – Bagi peserta yang telah berulang kali mengikuti gerak jalan Mojokerto–Surabaya tahun 2015, perubahan rute tahun ini benar-benar membingungkan.

“Saya tiap tahun ikut jalan tradisional ini, tetapi sekarang rutenya berubah. Peserta harus berjalan dengan cemas karena berhimpitan dengan arus kendaraan dua arah yang tetap bergerak meski jalannya merambat,” ujar Arik, peserta bernomor dada 11165, saat ditemui di pertigaan Lotte Grosir, Jalan Mas Trip, Sepanjang.

Banyak yang kesal dengan rute berbelok ke arah yang tidak familiar. Rute yang selama bertahun-tahun menjadi hafalan tak tertulis, tiba-tiba berubah.

Peserta harus turun dari bahu jalan, berhimpitan dengan arus kendaraan yang tetap jalan dari dua arah di kawasan Legundi hingga Sepanjang. (anto)

Pada penyelenggaraan sebelumnya, jalur gerak jalan selalu stabil dan mudah diprediksi. Rombongan bergerak dari Mojokerto menuju Krian, lalu menyisir jalur jalan provinsi melewati Trosobo, lanjut ke kawasan Sepanjang, sebelum akhirnya masuk ke Surabaya.

Jalur tersebut menjadi semacam pakem, lurus, jelas, dan minim kejutan. Peserta tinggal mengikuti arus besar yang bergerak. Keajegan itu membuat rute lama terasa aman, baik secara ritme maupun orientasi.

Namun tahun ini, berbeda. Proyek pengerjaan jalan di kawasan Trosobo mengubah seluruh skema, sehingga barisan tidak lagi melewati Trosobo.

Memasuki kawasan Simpang Lima Krian, kepadatan lalu lintas mulai tetasa menekan.
Di depan Klenteng Teng Swie Bio, barisan diarahkan keluar dari jalur utama kemudian dibelokkan menuju Krian By Pass hingga ke perempatan Legundi.

Di titik perempatan Legundi ini, langkah peserta melambat drastis. Barisan terpaksa menyatu dengan arus kendaraan yang tidak pernah benar-benar berhenti.

Setiap meter terasa berat, pejalan kaki harus berbagi ritme dengan mobil dan sepeda motor yang padat, saling berebut ruang yang sama sempitnya dengan jalur yang harus dilalui peserta.

Beberapa dari mereka terpaksa turun ke bahu jalan, meski area itu tidak sepenuhnya aman. “Ini tidak nyaman dan tidak memberi keselamatan bagi barisan. Kami sampai berjalan mepet dengan kendaraan,” tambah Arik, pria 54 tahun, yang mengaku sehari-hari bertugas sebagai pembantu sekolah di Yayasan Pesantren Hidayatullah, Mojokerto.

Arik akhirnya tak melanjutkan perjalanannya ke Surabaya. Karena merasa tidak nyaman harus berhimpitan dengan kendaraan selama perjalanan dari perempatan Legundi hingga pertigaan Lotte Grosir, Jalan  Mas Trip, Sepanjang.

“Di Jalan Mas Trip saja kendaraan tetap jalan, sehingga kami khawatir dengan keselamatan sendiri,” ujar Arik bernada kesal.

Di tengah hiruk-pikuk kendaraan yang tak pernah berhenti, gerak jalan tahun ini berubah menjadi perjalanan penuh ujian.

Setiap langkah bukan hanya soal ketahanan fisik, tetapi juga soal kesabaran menghadapi sempitnya ruang, padatnya arus lalu lintas, dan perubahan rute yang memaksa semua orang menata ulang irama berjalan.

Meski barisan tetap bergerak, perjalanan tahun ini terasa berbeda, lebih menantang, lebih padat, dan jauh lebih menuntut adaptasi daripada tahun-tahun sebelumnya. (anto)

16

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini