IM.com – Di sebuah rumah di Desa Kedawung, Grati, Pasuruan, hidup seorang lelaki yang memandang hidup serupa pigmen-pigmen cat yang harus diletakkan pada waktu yang tepat. Namanya Badri, pelukis realis berusia 63 tahun yang dipercaya banyak kalangan sebagai salah satu penentu arah perkembangan seni rupa realisme modern di Jawa Timur.
Di ruang tengah rumah itu — yang lebih tampak sebagai galeri ketimbang ruang keluarga — menggantung puluhan karya yang memantulkan pergulatan hidup, kegelisahan sosial, hingga kedalaman spiritual.
Badri memang bukan nama baru. Pada era 1980-an ia turut membidani tumbuhnya komunitas perupa Batu bersama Kubu Sarawan, Slamet Henkus, dan sejumlah pelukis lain. Dari masa itu pula dipahami bahwa seni rupa tidak sekadar perkara garis, cahaya atau teknik melainkan juga perkara stamina, fase kehidupan maupun kejujuran eksistensial.
“Ketika masa muda datang, stamina memuncak, skill matang, itulah masa keemasan. Pelukis harus melahirkan karya paling bagus dan paling sulit. Sebab fase itu tidak akan datang dua kali,” ujar Badri dalam perbincangan di Galeri Merah Putih, Balai Pemuda Surabaya, Jawa Timur, 29 Nopember 2025, malam.
Kini, ketika memasuki masa tua, ia menyadari bahwa tubuh tak lagi selincah dulu. Namun, justru dari perlambatan itulah lahir kedalaman baru. “Pada fase tua, yang dicari bukan lagi eksistensi tetapi hal-hal esensial,” katanya.
Tema-temanya mengerucut pada perenungan, kontemplasi, dan spiritualitas untuk menghasilkan karya dengan nilai jiwa yang lebih pekat dibanding estetika semata.
Psikologi Kolektif
Melihat karya-karya Badri, ada tiga kekuatan besar yang membedakannya dari pelukis realisme lain. Ada lukisan menampilkan figur-figur laki-laki dalam suasana remang jalanan, percakapan dan persimpangan hidup. Wajah-wajah itu bukan sekadar potret mereka adalah cerita. Ada keterpentalan sosial, ada kecemasan, ada kegetiran hidup kelas pekerja.
Sorot mata yang gelisah, gestur tangan yang ragu, bahkan motor tua di sudut kanvas menjadi simbol mobilitas hidup yang tersendat. Badri tidak meniru realita namun dia menafsirkan realita. Menghadirkan psikologi kolektif masyarakat kecil yang tak pernah mendapat panggung.
Badri piawai meniupkan drama lewat pencahayaan. Pada lukisan ada pendar cahaya hangat di sisi kiri beradu dengan warna dingin di kanan, memetakan konflik batin para tokoh.
Pada lukisan yang lain, cahaya lembut yang turun ke padang hijau menyalakan dimensi spiritual yang menyatu dengan alam dan mitologi. Teknik transisi warnanya halus namun tegas, menciptakan kedalaman emosional tanpa kehilangan ketegasan figur.
Badri juga mempertemukan sosok perempuan berselendang kuning dan figur-figur seolah gaib dengan kawanan sapi yang digarap realistis. Inilah kemampuan unik Badri, yakni mengawinkan dunia nyata dan dunia batin tanpa memecah logika visual.
Karya itu bukan sekadar pemandangan pedesaan tetapi alegori tentang kesuburan, tentang relasi manusia-alam, dan tentang kehadiran nilai-nilai spiritual dalam kehidupan agraris.
Berjalan Dua Kaki
Sebelum menjadi pelukis sepenuhnya, Badri pernah mengawali karier sebagai juru gambar poster bioskop. Dari pekerjaan itu mengolah anatomi terasah, bahasa tubuh manusia dia kenali hingga ke detail-detail kecil yang kini menjadi ciri karyanya.
Ia pernah mengenyam studi seni peran di Lembaga Kesenian Jakarta (yang kemudian menjadi IKJ), namun tidak menuntaskannya. Seni peran itu tetap meninggalkan jejak pada gesture karakter dalam lukisannya terkesan teatrikal, hidup dan dinamis.
Dalam menjalani hidup sebagai pelukis, Badri memilih “berjalan dengan dua kaki”. Yakni mengukir popularitas sambil tetap menerima order demi memastikan dapur tetap mengepul. “Tanpa begitu, pelukis akan kesulitan merawat keseniannya,” ujar ayah delapan anak dan kakek tiga cucu ini.
Badri ingin karyanya menjadi buah bibir, itu disampaikan secara eksplisit. Bahkan, ia melukis dirinya berada di dalam mulut seseorang dalam karya berjudul Buah Bibir, sebuah tema satir yang jujur sekaligus berani.
Pengagum KH Hasyim Asyari ini juga dikenal luas karena lukisan-lukisan sang pendiri NU itu kerap beredar di berbagai acara keagamaan.
Sayangnya, ketenaran tidak selalu membawa berkah. Karyanya kerap dibajak, salah satunya lukisan figur KH Hasyim Ashari yang viral. Bagi Badri, itu bukan sekadar kerugian materi tetapi juga penghilangan jejak pencipta.
Walau lahir di Kota Batu, Badri jatuh cinta pada Pasuruan, terutama kawasan pesisir Lekok. Bagi orang lain, Lekok hanyalah desa nelayan biasa namun bagi Badri, ia adalah panggung kehidupan dengan kelenturan sosial dan ritme kerja keras yang memukau.
“Orang Lekok itu jujur. Cara mereka memikul ikan saja sudah sebuah karya seni,” ucapnya. Dari sinilah banyak lukisan realis Badri terlahir, memotret manusia dalam kesederhanaan yang elegan.
Meski sudah berpameran sejak 199an, Badri menilai bahwa apresiasi seni rupa di Pasuruan masih rendah. Ia ingin membangun galeri seni di daerahnya, bukan untuk dirinya semata tetapi untuk pelukis lain di Pasuruan dan Probolinggo.
“Pasuruan itu kaya akan kesenian. Hanya saja belum punya wadah,” katanya dengan tekad yang tidak memudar meski usia terus berjalan.
Jalan Perenungan
Melihat perjalanan Badri, tampak jelas bahwa dia bukan sekadar pelukis realis namun juga pembaca kehidupan. Setiap goresan kuasnya membangun narasi sosial, spiritual, dan psikologis yang menghidupkan kanvas.
Ia percaya bahwa seni adalah perjalanan panjang, yang di masa muda harus dikejar dengan tenaga, dan di masa tua dijalani dengan kejernihan batin.
Di antara sapi-sapi yang digarap lembut, lelaki-lelaki kampung yang digambar dengan penuh empati, dan metafora-manusia yang terus dihadirkan, Badri sedang mengerjakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar lukisan.
Badri sedang merawat ingatan kolektif masyarakatnya sekaligus menanamkan bahwa kesenian adalah bahasa jiwa yang tak pernah menua. (kim)
Beranda Gaya Hidup Seni & Budaya Badri Sosok Penentu Perkembangan Seni Rupa Realis Modern Jawa Timur
Badri Sosok Penentu Perkembangan Seni Rupa Realis Modern Jawa Timur
4










































