Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 di Kabupaten Mojokerto berubah menjadi panggung kemarahan publik.

‎IM.com – Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 di Kabupaten Mojokerto berubah menjadi panggung kemarahan publik.

‎Gerakan Bersama Anti Korupsi (GEBRAK) Mojokerto turun ke jalan dengan tuntutan keras, menyoroti maraknya korupsi di daerah hingga pusat, termasuk dugaan praktik kotor yang menyeret oknum DPRD, aparat penegak hukum (APH) serta pejabat FORKOPIMDA.

‎Aksi yang dimulai dari Depan Waterland, bergerak ke Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto dan berakhir di Kantor Bupati Mojokerto, ini menyita perhatian publik karena berlangsung di tengah gelombang kasus korupsi nasional yang membuat masyarakat semakin kehilangan kepercayaan.

‎Indonesia Keletihan

‎Fenomena yang mengemuka kini semakin terang: tiada hari tanpa korupsi. Ruang pemberitaan dipenuhi kasus-kasus baru, sementara kepercayaan publik terhadap penegak hukum terus menipis.

‎Terkait dengan kasus dana hibah Provinsi Jawa Timur, KPK telah menetapkan 21 tersangka baru dalam kasus korupsi dana hibah Pokmas APBD Jawa Timur 2021–2022. Dari jumlah itu, empat sebagai penerima suap, 17 sebagai pemberi.

‎Kasus ini merupakan pengembangan OTT terhadap mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua P. Simanjuntak, yang sebelumnya telah divonis 9 tahun penjara dengan kewajiban membayar uang pengganti hampir Rp 40 miliar.

‎Namun hingga tulisan Iki diturunkan pengembangan kasus ini terkesan mandeg. Publik pun semakin bosan mendengar berita korupsi, seakan tak mengenal batas.

‎Enam Tuntutan GEBRAK

‎Dalam aksinya, GEBRAK Mojokerto menyampaikan enam tuntutan utama, antara lain, mendesak DPR RI mengesahkan UU Perampasan Aset untuk memberikan efek jera pada koruptor. Reformasi Polri secara menyeluruh, terutama dalam profesionalitas dan akuntabilitas.

‎Penindakan terhadap Kades dan OPD yang terbukti menyelewengkan dana BK Desa di Mojokerto. Membersihkan oknum APH yang masih meminta jatah proyek dan melakukan lobi-lobi ilegal.

‎Menuntut pejabat FORKOPIMDA yang terlibat KKN segera meninggalkan Bumi Majapahit. Menolak kriminalisasi aktivis LSM dan penggiat budaya yang kritis terhadap jalannya pemerintahan.

‎“Hancurkan tikus-tikus perampok uang rakyat!” Agus Sniper menyampaikan orasi keras menyoal perizinan yang dipersulit dan dugaan permainan uang di lingkaran pejabat daerah.

‎“Ada apa dengan perizinan dibuat main oleh anggota dewan? Kalau ada duit diproses, jika tidak ada duit ditaruh. Ayo kita buktikan, hancurkan tikus-tikus yang menggerogoti uang rakyat!” seru Agus Sniper.

‎Ia juga menantang DPRD dan APH untuk benar-benar bersinergi dengan kelompok masyarakat sipil dalam memastikan pemberantasan korupsi berjalan tanpa kompromi.

‎Dugaan Korupsi di Desa

‎Selain isu perizinan, dugaan penyalahgunaan dana desa menjadi salah satu titik panas aksi kali ini. GEBRAK Mojokerto menilai praktik korupsi di tingkat desa semakin mengkhawatirkan karena menyentuh bantuan langsung untuk masyarakat.

‎Mereka juga menuntut investigasi menyeluruh terkait dugaan keterlibatan pejabat FORKOPIMDA dalam praktik KKN.

‎“Jika terbukti bersalah, mereka harus diproses sesuai hukum. Mojokerto tidak boleh menjadi ladang subur koruptor,” tegas perwakilan GEBRAK Mojokerto.

‎Pada level nasional, peringatan Hakordia di Jakarta menegaskan bahwa korupsi merupakan ancaman serius kemanusiaan. Pesan ini disampaikan Jaksa Agung RI Prof. Burhanuddin, melalui Kabadiklat Kejaksaan RI Dr. Leonard Eben Ezer Simanjuntak.

‎Sejumlah pakar hukum menilai pemberantasan korupsi terhambat oleh lemahnya etik aparat serta politik oligarki yang memperkuat patronase.

‎Akademisi seperti Prof. Anthon F. Susanto menyebut Indonesia gagal memberantas korupsi karena sistem penegakan hukum masih berbasis logika barat yang tidak selaras dengan konstruksi sosial bangsa.

‎Sementara pemikir seperti Emil Fahmi Yakhya menegaskan, budaya korupsi Indonesia memiliki akar panjang sejak masa VOC hingga modern.

‎Sepanjang 2025, sejumlah kasus besar mencuat, antara lain, Pertamina, PT Timah, Kemendikbudristek (Chromebook), LPEI, Bank BJB, Wilmar Grou.

‎Laporan lembaga antikorupsi juga menyebut pelaku korupsi paling banyak berasal dari pemerintah kabupaten/kota, disusul swasta, Kementerian/Lembaga, BUMN, DPR, dan pemerintah provinsi.

‎Para pakar menegaskan reformasi antikorupsi tidak boleh berhenti pada penindakan, tetapi harus mengarah pada perubahan sistem. Reformasi kelembagaan dan tata kelola publik

‎Jaga integritas dan karakter bangsa. Pengesahan UU Perampasan Aset. Transparansi dan akuntabilitas dari hulu ke hilir.

‎Aksi GEBRAK Mojokerto pada Hakordia 2025 bukan sekadar protes jalanan, tetapi teriakan kolektif bahwa masyarakat sudah jenuh dengan korupsi yang merajalela dari pusat hingga desa. (kim)

46

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini