IM.com – Sidang lanjutan perkara suap perizinan tower dua perusahaan telekomunikasi dengan terdakwa Bupati Mojokerto non aktif, Mustofa Kamal Pasa (MKP), Senin (22/10/2018) semakin menarik dan menguak fakta baru. Salah satunya, modus aliran duit pelicin yang berjenjang dari pemberi gratifikasi melalui beberapa pengepul sebelum berakhir di tangan sang bupati yang didakwa sebagai penerima suap.
Bukan hanya Nano Santoso Hudiarto alias Nono, MKP juga diduga mempercayakan pengumpulan duit suap itu kepada Muhammad Ali Kuncoro. Nama mantan Kabag Umum Pemkab Mojokerto ini juga dipercaya PT Tower Bersama Infrastructure (TGB) unntuk menyerahkan setorannya kepada terdakwa.
“Total jumlahnya yang saya serahkan Rp 2,2 miliar,” kata Muhammad Ali Kuncoro dalam kesaksiannya dalam sidang lanjutan perkara suap yang menjerat bekas Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Surabaya, Senin siang (22/10/2018).
Duit sebanyak itu sekitar 75 persen dari total suap yang diduga sudah diterima MKP sebesar Rp 2,74 miliar. (Baca: Bekas Anak Buah Sebut MKP Rutin Terima Setoran per Minggu).
Ali mengungkapkan, total uang tersebut diserahkan secara bertahap. Selain itu, duit tersebut tidak langsung sampai kepada MKP. Alirannya harus lebih dulu dilewatkan Kepala Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) kala itu, Bambang Wahyuadi.
Menariknya, Ali mengaku pernah suatu ketika menyetorkan uang ‘panas’ dari PT TGB kepada Bambang di sebuah tempat pemakaman umum di Kota Mojokerto. Saat itu, kata Ali, duit diserahkan pada dini hari.
Ali menambahkan, tempat dan waktu yang jauh dari kebisingan itu, sesuai permintaan Bambang. Saksi pun hanya bisa menuruti permintaan itu karena disebut atas instruksi MKP.
“Katanya terdakwa terus menanyakan (duitnya). Pak Bambang mintanya disitu. Saya serahkan Rp 600 juta,” beber Ali. Selain di TPU, Ali menyebut pernah menyerahkan duit di rumah pejabat yang kini memimpin Inspektorat Pemkab Mojokerto tersebut.
Lebih jauh, saksi mengungkap Bambang awalnya meminta PT TGB dan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) harus membayar Rp 300 juta untuk setiap titik tower.
“Awalnya, pak Bambang bilang, ada cost yang harus dikeluarkan Rp 300 juta untuk setiap tower,” imbuh Ali.
Menurut Ali, total ada 22 tower yang perizinannya harus diurus kedua perusahaan tersebut. Masing-masing perusahaan sebanyak 11 tower yang harus diurus perizinannya. Keterangan ini berbeda dengan kesaksian Kepala Satpol PP Pemkab Mojokerto, Suharsono pada sidang sebelumnya bahwa ada 19 tower yang disegel karena belum mengantongi izin.
Tetapi keterangan para saksi kompak soal duit suap yang akhirnya disepakati oleh kedua perusahaan tersebut yakni Rp 200 per titik tower dan totalnya Rp 4,4 miliar. Kendati yang baru terbayar baru Rp 2,74 miliar.
Model penyerahan duit bertingkat dan berlapis inilah yang dijadikan alibi MKP saat membantah semua keterangan saksi. Dalam sidang tersebut, MKP menyatakan bahkan tak pernah berhubungan dengan saksi, apalagi menerima duit miliaran tersebut.
“Saya tidak pernah terima dan berhubungan dengan para saksi,” cetus mantan bupati dua periode itu.
Walau demikian, bantahan terdakwa tak membuat jaksa surut langkah. Sebab, jaksa KPK sudah mengantongi keterangan saksi kunci dan bukti kuat adanya aliran duit ke MKP yang akan dibeberkan dalamsidang-sidang selanjutnya.
“Meski tidak terima langsung, kan lewat orang di dekatnya. Saksi kami masih panjang. Nanti dakwaannya mengalir terus ke siapa, lalu siapa, akan kami buktikan sebagaimana dakwaan kami,” tegas jaksa Joko Hermawan.
Selain saksi pengepul duit suap Ali Kuncoro, ada empat saksi lain dari sisi pemberi suap, PT TGB, yang dihadirkan jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka adalah Chief Project & Implementation, Yogi Pamungkas, Permit and Regulatory Division Head Ockyanto dan Project Management Division Head perusahaan tersebut, Hafidz Azhari. Terakhir ada Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Pemkot Kediri Agus Suhariyanto yang menjadi perantara suap PT TGB.
Dalam kesaksiannya, Ockyanto membenarkan ada indikasi pihaknya dipaksa memberikan setoran gratifikasi dengan modus penyegelan. Sebab saat itu, penyegelan dilakukan secara tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan terlebih dulu.
“Kondisi waktu itu mendesak, tau-tau sudah disegel. Kami waktu itu tidak punya (tidak sempat cari) pembanding (terkait besaran biaya perizinan),” tandasnya.
Ia mengaku cukup kaget ketika dimintai duit sebesar itu. Sebab, dalam sertifikat tertulis besaran biayanya hanya Rp 4 sampai Rp 7 juta, tergantung pada luas lahan yang digunakan.
“Kenapa harus bayar segitu, ternyata itu untuk biaya operasional mereka,” tutur Ockyanto.
Saksi menceritakan, ketika itu pihaknya langsung mencari tahu alasan Satpol PP tiba-tiba menyegel tower milik PT TGB. Pasalnya, ia mengira, seluruh perizinan terkait pendirian 11 tower milik perusahaannya sudah beres.
“Ternyata masalahnya karena belum memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Baru tau setelah penyegelan itu,” ungkap Ockyanto. Ia buru-buru mengurus perizanan tower dengan segala konsekuensi harus memberi uang pelicin karena tak ingin ada keluhan dari pelanggan jarisngan telekomunikasinya di Mojokerto.
Usai sidang, MKP langsung dibawa masuk ke ruang tahanan Pengadilan Tipikor Surabaya. Di situ, ia berbincang dengan tim kuasa hukumnya dan beberapa orang dekatnya dari balik jeruji besi, sebelum akhirnya dipindah ke Rutan Medaeng Sidoarjo menggunakan mobil tahanan. (im)