IM.com – Praktik politik uang (money politic) di Kota Mojokerto menjadi perhatian serius Badan Pengawas Pemilu. Kendati potensi terjadinya politik uang di Kota Onde-Onde bisa dikatakan tidak terlalu besar.
Kesimpulan itu merujuk pada hasil identifikasi Bawaslu Kota Mojokerto terhadap praktik politik uang di 18 kelurahan yang tersebar di enam kecamatan. Identifikasi dalam bentuk survei ini melibatkan 112 orang (26 laki-laki dan 56 perempuan) yang menjadi sampel. Para responden dipilih dari berbagai latar belakang pendidikan jenjang SD sampai Sarjana.
Dari hasil identifkasi itu, 86 orang atau 77% responden mengaku tidak pernah melihat praktik bagi-bagi uang atau materiil lain dalam Pemilu atau Pilkada di Kota Mojokerto. Hanya 23% responden yang pernah melihat terjadinya money politic di lingkungannya.
Sedangkan bentuk money politic yang diberikan kepada calon pemilih kebanyakan berupa sembako atau beras. Sebanyak 44% respon menjawab pemberian sembako kepada calon pemilih yang paling sering mereka lihat.
Sementara uang berada di urutan bawahnya, 40%. Sisanya, ada yang memberi gula pasir dan aneka jens pakaian.
Money politic itu biasanya terjadi sejak masa tenang (H-3) sampai sehari jelang pencoblosan. Ada 55% responden yang menjawab itu.
Waktu lain yang paling sering terjadi money politic adalah saat masa kampanye, 34%. Namun ada juga yang bagi-bagi politik uang saat hari pemungutan suara yang biasa disebut ‘serangan fajar’ sebanyak 7%. Dan usai penetapan calon terpilih sebanyak 4%.
Dari sisi pelaku (pembagi) money politic, tim sukses teridentifikasi paling tinggi. Tim sukses dianggap sebagai pihak yang kerap melakukan money politic sebesar 48%.
Selanjutnya, tokoh masyarakat dan pengurus partai politik masing-masing 5,7%. Disusul Ketua RT/RW 2,3%. Sementara 35% responden mengaku tidak tahu.
Hal ini rupanya sejalan dengan pihak yang dianggap paling banyak mempengaruhi calon pemilih untuk memilih calon tertentu. Lagi-lagi memang sebanyak 31% responden menentukan pilihannya terhadap calon karena dipengaruhi tim sukses.
Disusul tokoh masyarakat sebesar 9%, pengurus parpol dan Ketua RT/RW dengan prosentase sama 8%. Sedangkan 28% menyatakan tidak pernah terpengaruh.
Yang miris, adanya keterlibatan penyelenggara pemilu sebaga pihak yang ikut mempengaruhi pemilih. Sebanyak 5% mengatakan pernah diperngaruhi oleh penyelenggara pemilu untuk memilih calon tetentu.
Lainnya ada kepala desa dan kerabat masing-masing 1%. Sementara 9% mengaku tidak tahu.
Enggan Laporkan Politik Uang Karena Intimidasi
Ada hal positif yang membawa angin segar dari hasil identifikasi ini. Kebanyakan mereka yang melihat praktik money politic punya i’tikad baik untuk melaporkan pelanggaran itu ke pihak berwenang.
Sebanyak 52% responden menyatakan akan melapor jika melihat praktik poltik uang. Sedangkan 48% lainnya tidak melaporkannya.
Tetapi kebanyakan mereka yang tidak melaporkan praktik money politic bukan lantaran keinginannya yang seperti itu. Melainkan karena sejumlah faktor yang masih bisa dimaklumi.
Ada 45% yang tidak melaporkan karena tidak tahu mekanisme dan prosedur pelaporannya. Faktor lain, 39% disebabkan ketakutan akan diintimidasi oleh pelaku money politic jika mereka melaporkan pelanggaran itu ke Bawaslu atau pihak berwenang lainnya.
Selain itu, ada juga 9% yang enggan mengikuti prosedur pelaporan yang dianggap berbelit. Juga lantaran pelaku masih kerabat sendiri 3%.
Survei data yang digelar pada 2-10 Maret 2019 dilakukan dengan 4 indikator yang dirinci dalam 15 variabel. Empat indikator yang disurvei yakni dua aktor politik meliputi pelaku dan waktu serta tempat praktik money politic, perilaku pemilih dan bentuknya. (im)