IM.com – Akademisi dan pemerhati lingkungan Inggris mengkritik kebijakan ekspor sampah plastik negaranya dan Amerika Serikat yang dibuang ke Indonesia, khususnya di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Mojokerto. Dua negara maju itu dinilai telah menyebarkan polusi lingkungan dari limbah plastik ke Indonesia dan negara pengimpor sampah.
Kritik tajam itu datang dari Michael Northcott, Guru Besar Ilmu Etika dan Teologi (Ekologi) Lingkungan Universitas Edinburgh, Skotlandia. Menurut Michael Northcott, Inggris dan AS hanya membuang limbahnya ke negara lain tanpa memikirkan dampak lingkungan di daerah penampungan.
“Sampah plastik, termasuk uang kertas robek, dibuang di Kampung Mojokerto, Jawa Timur,” kata Michael Northcott melalui cuitan di akun twitter pribadinya, @msnorthcott, yang diposting hari ini, Sabtu (11/5/2019).
Northcott mengatakan, negaranya tidak memberikan fasilitas dan dukungan pada kawasan yang menjadi penampungan limbah plastik untuk pengelolaan sampah agar jangan sampai menimbulkan dampak yang serius.
Ia merasa miris melihat penduduk di lingkungan yang menjadi lumbung sampah impor dari Inggris dan AS seperti di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Mojokerto. (Baca juga: Menengok Warga Desa Bangun, Hidup dari Berkah Sampah).
“Tidak ada fasilitas penanganan limbah, hanya penduduk setempat yang kewalahan menangani pembuangan limbah kami yang tidak bertanggung jawab,” tandas Michael Northcott.
Karena itu, Northcott mendesak Parlemen Inggris segera mengeluarkan kebijakan tegas.
“Segera membuat undang-undang untuk melarang ekspor limbah plastik,” demikian Profesor yang menjadi Konsorsium Studi Agama Indonesia di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ini.
Isu pencemaran lingkungan memang sedang menjadi sorotan di Inggris. Volume sampah plastik dari rumah tangga maupun industri di Negeri Ratu Elizabeth dianggap sudah dalam tahap kritis.
Salah satu media massa terbesar di Inggris, The Guardian dalam laporannya mengungkap, rumah tangga Inggris membuang 22 juta ton sampah ke tempat sampah setiap tahun. Sementeria di sisi lain, kapasitas daur ulang hanya bisa menjangkau sekitar 44% dari jumlah volume sampah (plastik).
Negara berlambang Singa Emas itu disebut tidak akan mungkin mencapai target 50% pada tahun 2020. Pasalnya, Inggris tidak memiliki infrastruktur yang diperlukan untuk mendaur ulang limbah plastiknya sendiri. Maka membuangnya ke luar negeri (ekspor) seolah menjadi opsi terbaik.
Sejak tahun 2002, jumlah sampah yang dikirim ke luar negeri ke negara-negara termasuk Cina, Turki, Malaysia dan Polandia telah meningkat enam kali lipat – terhitung setengah dari kemasan yang dilaporkan sebagai daur ulang tahun lalu.
Seharusnya, daur ulang dan pengolahan menjadi tanggung jawab sekitar 7.000 perusahaan penghasil limbah plastik di Inggirs. Namun, kewajiban dan tanggung jawab itu banyak diabaikan oleh perusahaan karena lemahnya Badan Lingkungan otoritas setempat. Demikian laporan Kantor Audit Nasional (NAO) Inggris.
“Kami khawatir badan tersebut tidak memiliki kontrol yang cukup kuat untuk mencegah sistem mensubsidi ekspor bahan-bahan yang terkontaminasi atau berkualitas buruk.”
“Ada risiko bahwa beberapa bahan tidak didaur ulang ke standar Inggris “dan alih-alih dikirim ke tempat pembuangan sampah atau berkontribusi terhadap polusi”.
Pejabat Departemen Lingkungan, Pangan dan Urusan Pedesaan, Michael Gove menilai, sistem pengendalian dan pengawasan lingkungan yang ada saat ini belum cukup efektif dan proaktif dalam mengelola risiko terkait dengan peningkatan ekspor limbah.
Masih berdasar laporan The Guardian, sampah plastik dari pabrik limbah di Inggris kini membawa dampak pencemaran semakin parah dan meluas. Disebutkan, polusi plastik di lautan dengan jutaan manik-manik kecil tumpah ke laut di sekitar Inggris.
Lusinan pabrik pengolahan air limbah Inggris menggunakan pelet plastik kecil, yang dikenal sebagai Bio-Beads, untuk menyaring bahan kimia dan kontaminan organik dari limbah, menurut sebuah studi dari Cornish Plastic Pollution Coalition (CPPC). Laporan tersebut menemukan bahwa jutaan pelet ini, yang hanya berukuran sekitar 3,5mm, telah tumpah dan berakhir di lingkungan.
Penulis laporan itu, Claire Wallerstein, mengatakan begitu Bio-Beads telah dirilis, mereka sulit dikenali dan hampir mustahil untuk dilepaskan – namun dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan bagi margasatwa laut.
“Kami belajar lebih banyak setiap saat tentang dampak lingkungan dari plastik mikro konsumen dalam air limbah seperti serat cucian, kosmetik mikro, dan debu ban,” kata Wallerstein.
“Namun, sekarang sepertinya plastik mikro yang digunakan dalam proses pabrik air limbah itu sendiri juga dapat berkontribusi terhadap masalah tersebut.” (im)