IM.com – Pro kontra hukuman kebiri kimia yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Mojokerto terhadap Muhammad Aris, terpidana kasus pemerkosa 9 bocah, kian menghangat. Dukungan dari Menteri Kesehatan dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tak menyurutkan langkah Komnas HAM yang menentang keras penerapan hukuman tersebut.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menilai, vonis hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kejahatan seksual sudah sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
“Kalau (sudah sesuai) undang-undang ya kita harus ikut. Kita nggakboleh melanggar undang-undang itu aja. Saya kira kita mendukung, saya mendukung,” kata Nila saat ditemui di Kementerian Kesehatan Jakarta, Senin (16/8/2019).
Karena itu, Menkes Nila mengajak semua pihak menghormati keputusan Pengadilan Negeri Mojokerto yang menjatuhkan hukuman tersebut kepada terpidana.
“Kasusnya sudah terbukti di persidangan dan hukuman sudah diputuskan sesuai aturan. Saya kira keputusan itu harus kita hormati,” tandas Menkes.
Sebelumnya, Pengadilan Negeri Mojokerto menjatuhkan vonis penjara 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan terhadap Muhammad Aris. Majelis hakim juga memberi tambahan hukuman yakni kebiri kimia terhadap predator anak asal Desa Sooko, Kabupaten Mojokerto tersebut.
Vonis hukuman kebiri kimia ini harus dieksekusi paling lambat selama masa terpidana masa hukuman pidana penjara yakni 12 tahun. Hukuman pidana penjara dan kebiri kimia ini dijatuhkan setelah pemuda yang bekerja sebagai tukang las itu dinyatakan terbukti bersalah mencabuli sembilan orang korban yang masih anak-anak.
Hukuman kebiri ini pertama kali diterapkan oleh Majelis Hakim PN Mojokerto terhadap M Aris. Regulasi yang mengatur kebiri kimia terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Oktober 2016, Perppu tersebut kemudian disahkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menerangkan, instrumen hukum tersebut sudah seharusnya digunakan oleh aparat penegak hukum. Hal itu untuk melindungi dan memberikan keadilan bagi korban anak dalam kasus kekerasan seksual.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tidak mentoleransi segala bentuk kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak. Kemen PPPA mengapresiasi putusan yang dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto atas pemberlakuan hukuman pidana tambahan berupa pidana kebiri kepada terdakwa,” ujar Menteri PPPA, Yohana Yembise dalam Siaran Pers, Senin (26/8/2019).
“Ini salah satu upaya untuk memberikan efek jera kepada para predator anak dan seperti kita ketahui bahwa Presiden telah menyatakan bahwa kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan luar biasa,” imbuhnya.
Hukuman Tak Jamin Bikin Jera
Pendapat Menteri PPPA rupanya tidak sepenuhnya dibenarkan ahli medis. Dokter malah menganggap hukuman tambahan kebiri kimia belum sepenuhnya menyembuhkan pelaku kekerasan seksual.
Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (MPPK PBIDI) Surabaya, dr Pujo Hartono menilai kebiri kimia yang dimaksud sebagai hukuman tambahan belum dapat dipastikan akan menghilangkan hasrat seksual terpidana.
“Belum dipastikan menghilangkan naluri bejat, mungkin tidak bisa ereksi tapi otaknya untuk melakukan itu kan mungkin pakai dengan cara lain, seperti tangan,” jelas dr Pujo Hartono di RSUD Dr Soetomo, Senin (26/08/2019).
Penilaian ini diamini Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam. Pihaknya menilai, hukuman kebiri terhadap pelaku tindak pidana seksual tidak akan menghilangkan tindakan pemerkosaan.
“Bahwa kita mengecam kejahatan itu, iya. Tetapi kebiri menurut kami tidak sesuai dengan prinsip HAM dan tidak akan membuat perilakunya jera,” tandas Choirul Anam, di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Senin (26/8/2019).
Choirul mengatakan, pihaknya tetap mengecam tindak pemerkosaan yang dilakukan Aris. Menurutnya, hal itu diluar batas kemanusiaan lantaran perkosaan dilakukan terhadap anak di bawah umur dengan jumlah yang banyak.
“Sama dengan kamu dagang narkoba, yang dihukum mati sudah banyak, tetapi narkoba tetap didagangi. Sama dengan kejahatan pembunuhan berencana, kamu diancam hukuman mati. Hukuman matinya banyak, tapi kejahatannya tetap aja ada,” tambahnya.
Karena itu, Komnas HAM bersikukuh menentang eksekusi hukuman kebiri kimia. Menurutnya, alangkah lebih baik jika pelaku dihukum pidana berat (maksimal).
“Reformasi hukum pidana kita sudah menunjukkan bahwa hukuman fisik, merusak fisik secara permanen itu dihindari. Ada baiknya (terpidana) dihukum seberat-beratnya, misalnya 20 tahun, seumur hidup ya, dan suruh bekerja secara sosial,” tuturnya. (im)