IM.com – Program pendidikan gratis berkualitas (TisTas) Pemprov Jawa Timur tak sepenuhnya mendapat dukungan dari pihak sekolah. Muncul suara sumbang dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah SMA (MKKS) yang meminta Gubernur Khofifah Indar Parawansa menghentikan program tersebut karena sejumlah alasan.
Beberapa alasan yang disebutkan antara lain, karena program Tistas melalui Biaya Penunjang Operasional Penyelengaraan Pendidikan (BPOPP) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dinilai belum ideal. Meskipun, niat dan tujuan program ini sangat baik untuk menyelenggarakan pendidikan murah sekaligus berkualitas.
“Tapi realisasinya belum tepat. Program yang harusnya bisa meringankan beban dan meningkatkan kualitas pendidikan bagi siswa malah menjadi bumerang,” kata Kepala SMKN Pungging Mojokerto Harol Kristianto, Jumat(3/1/2020).
Keluhan ini disampaikan Harol dalam forum Kunjungan Komisi E (Kesra) DPRD Jatim terkait Sosialisasi Program Pendidikan 2020 dengan kepala sekolah SMA/SMK Negeri dan Swasta serta Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) se Mojokerto di SMK Negeri 2 Kota Mojokerto pada Jumat (3/1/2020). Kunker dewan ini dalam rangka implementasi Perda No.11 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Menurut Harol, bantuan BPOPP dan BOS dari program tistas Pemprov Jatim membuat pihak sekolah dalam posisi dilematis. Sebab, program bantuan itu masih dipersepsikan masyarakat sebagai biaya untuk menyelenggarakan pendidikan gratis.
“Padahal bantuan tersebut, lebih ditekankan untuk mewujudkan peningkatan kompetensi, karakter dan enterprenureship siswa,” tandasnya.
Alhasil, pihak sekolah banjir kritikan karena memungut biaya atau sumbangan pendidikan (SPP) kepada siswa. Pasalnya, sesuai SE Gubernur No.430/71/2017, pihak sekolah masih diperbolehkan memungut biaya pendidikan untuk menutupi kekurangan dana bantuan dari pemprov.
Pungutan itu, kata Harol, untuk memastikan biaya operasional pendidikan terjamin sekaligus program peningkatan kompetensi dan entepreneurship seperti yang dikehendaki pemprov dalam pogram tistas tetap berjalan.
“Kalau SMA/SMK tak boleh minta sumbangan, ya tolong direvisi SE Gubernur itu atau BPOPP dinaikkan supaya ideal,” tegas Harol.
Kasek SMA Mojosari Ibnu menguatkan pendapat Harol. Menurutnya, BOPP hanya kisaran Rp 1,2 juta setahun dan BOS Rp 1,4 juta setahun memang masih terlalu kecil. Angka tersebut, lanjutnya, jika dibandingkan dengan biaya pendidikan selama setahun berdasarkan hasil survei rasio mencapai kisaran Rp.4 juta per siswa.
“Dengan biaya sebesar itu memang bisa jalan tapi jalan di tempat bukan sampai menyentuk mutu pendidikan. Makanya kami minta istilah SPP Gratis dihilangkan saja,” pintanya.
Selain imppelemntasinya yang belum ideal, para kepala sekolah SMA/SMK di Mojokerto juga mengeluhkan Juknis BPOPP yang tidak fleksibel serta seringnya terjadi keterlambatan pencairannya. Selain itu, adanya ironi pengelolaan dana BPOPP ini antara sekolah negeri dan swasta.
“Kalau sekolah swasta banyak yang masih kekurangan tapi sekolah negeri justru ada yang tak terserap sehingga harus dikembalikan ke Kasda, ini ironi,” tandas Kasek SMK Muhammadiyah 1 Mojokerto Sri Wilujeng.
Anggota DPRD Jatim, Mathur Husyairi menilai, permintaan para kepala sekolah untuk menghentikan program pendidikan TisTas adalah keinginan yang ngawur. Politisi Partai Bulan Bintang ini menduga, biaya pendidikan yang dikeluarkan sekolah untuk banyak yang mubazir.
“Saya tadi mau minta RAPBS (Rencana Anggaran Belanja Sekolah) untuk mengetahui kebutuhan biaya penyelenggaran pendidikan di sekolah-sekolah mereka. Khawatirnya banyak kegiatan yang tidak penting,” cetusnya.
Namun Mathur menyampaikan, kebanyakan sekolah ternyata membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana BPOPP dan BOS yang asal-asalan. Padahal, lanjutnya, penggunaan dana bantuan BPOPP dan pengganti BOS itu harus rinci sesuai aturan. “Misalnya untuk (belanja) buku sekian persen, gaji guru sekian persen dan sebagainya. Semua ada aturannya,” tutur Mathur. (im)