IM.com – Pemerintah Kota Mojokerto tengah melakukan kajian ilmiah terkait potensi produk hasil tembakau. Selain mengembangkan Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT), riset ini juga dimaksudkan untuk memfasilitasi masyarakat produsen rumahan rokok tingwe (ngelinthing dewe/melinting sendiri) agar berkembang sekaligus mentaati aturan yang berlaku.
Untuk mengkaji potensi KIHT di Kota Mojokerto, Pemkot bekerjasama dengan tim pakar dan akademisi dari ITS. Hasil kajian akan menentukan kebijakan selanjutnya dalam upaya mengembangkan kawasan industri.
“Kami serahkan kepada ITS untuk melihat sejauh mana potensi yang ada di Kota Mojokerto. Jika memang potensi itu ada, kami akan membuatkan satu kawasan yang memadai,” kata Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari saat menjadi pembicara FGD Kajian Potensi Pembentukan KIHT di Grand Atrium Sunrise Mall, Jalan Benteng Pancasila, Rabu (08/12/2021).
Walikota yang akrab disapa Ning Ita melanjutkan, hasil kajian KIHT juga akan menjadi pedoman untuk memfasilitasi masyarakat produsen rokok tingwe. Langkah ini bertujuan mengembangkan produsen hasil tembakau rumahan sekaligus membuat mereka mentaati aturan yang berlaku.
“Silahkan untuk menyampaikan informasi tersebut (tingwe) kepada kami. Bukan arah hukum, yang akan kami lakukan, tetapi justru kami akan memberikan fasilitasi dan penyuluhan,” tegas Ning Ita.
Dengan berkembangnya KIHT dan produsen rokok polos (tanpa merk) yang tertib, lanjut Ning Ita, maka potensi pendapatan daerah dari Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) Kota Mojokerto bakal terdongkrak. Tentu, manfaatnya akan kembali kepada masyarakat Kota Onde-Onde secara luas.
“Jadi kami mengajak, masyarakat Kota Mojokerto untuk menjadi masyarakat yang tertib dan taat. Karena dengan tertib dan taat pada peraturan maka sisi kemanfaatan akan diperoleh bagi seluruh pihak. Termasuk untuk masyarakat sendiri yang sudah merasakan pemanfaatan UHC,” ucapnya.
Ning Ita menjelaskan, nilai DBHCHT Kota Mojokerto tahun 2021 ini mencapai sekitar Rp 20 miliar. Sebagian dialokasikan untuk sosialisasi dan edukasi serta membayar BPJS Kesehatan.
“Kami ingin alokasi dana cukai yang diterima Pemkot Mojokerto bisa terus diperoleh dengan alokasi yang lebih besar lagi. Lantaran, Kota Mojokerto yang sudah mencapai Universal Health Coverage (UHC) membayar premi BPJS Kesehatan sebesar Rp 26 miliar,” ujarnya.
Kepala Diskop UKMperindag Kota Mojokerto Ani Wijaya menambahkan kajian KIHT dilatarbelakangi pengumpulan informasi di tahun 2020 lalu, soal maraknya peredaran rokok ilegal yang tidak dilekati pita cukai. Juga keuntungan yang lebih besar daripada menjual yang legal.
“Kita dapati warga yang terang-terangan membuat rokok polos dan terang-terangan menerima pesanan rokok polos. Tentunya kita tidak bisa menutup mata bahwa disekitar kita, di kafe-kafe juga di warung-warung kopi banyak yang menghisap rokok ‘tingwe’ atau nglinting dewe,” kata Ani.
Menurut Ani, maraknya rokok tingwe di perkotaan menjadi salah satu dorongan Pemkot untuk memfasilitasi produsen di Kota Mojokerto agar bisa lebih produktif secara legal. Dengan kata lain, Pemkot akan mempermudah mereka dalam menjalankan usahanya tanpa melanggar aturan.
“Dengan demikian juga bisa menambah pendapatan negara dari cukai. Dan transfer dari DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau) bisa bertambah,” tutur Ani. (adv/im)