IM.com – Pelukis cilik asal Mojokerto Nadira Zahra Ramadina kian mengepakkan sayap dan melambungkan karyanya melalui Pameran Tunggal Seni Rupa bertajuk ‘My Journey’. Pameran itu memperkokoh sosok inspiratif Nadira sebagai perupa muda berbakat yang telah melahirkan puluhan karya dan sudah diakui seniman kondang dan kawakan bagi para remaja generasi muda.
Acara yang akan digelar di Galeri Prabangkara Surabaya, Jalan Genteng Kali No.85, Sabtu sampai Kamis, 4-9 Februari 2023 ini merupakan pameran tunggal kedua yang pernah dilakukan Nadira Zahra Ramadina. Pagelaran bertajuk ‘My Journey’ ini memuncaki rangkaian perjalanan perupa belia berusia 15 tahun yang telah mengikuti 37 pameran bersama di berbagai daerah.
Sejumlah seniman, pelukis, kurator hingga penulis kondang turut mengantarkan puncak perjalanan Nadira dalam pameran tunggal ini. Mereka telah mengakui kekayaan karya yang lahir dari bakat, kreatifitas dan produktifitas perupa muda Nadira Zahra Ramadina.
“Saya pertama kali mengetahui sosok Nadira sebagai pelukis muda saat melihat pameran di Galeri Merah Putih. Saya tertarik pada satu karya yang beda di antara lainnya, ada ekspresi yang bebas tanpa beban. Sepertinya ada suatu kekuatan dari dalam jiwanya yang tidak bisa terbendung untuk melahirkan karya-karya lukisnya dengan berbagai ekspresinya,” kata Agus ‘Koecink’ Soekamto, perupa asal Surabaya.
Mengamati karya-karya Nadira, Agus melihat beberapa periode dalam perjalanan seni lukis remaja perempuan itu. Ada periode Bali, Candi, manusia, kota, Penanda kota, penari, dan abstrak. Menurutnya, setiap periode tentu mempunyai daya kreatif atau imajinasi yang membawanya dalam proses pergulatan batin untuk menemukan gaya pribadi dalam melukis. Sebagai pelukis yang masih remaja, Nadira melaluinya dengan bahagia itu bisa saya perhatikan pada karyanya ketika berada dalam setiap lingkungan atau budaya yang berbeda.
“Daya imajinasi untuk mengekspresikan karya seni ciptaanya menjadi sesuatu yang menarik untuk diapresiasi,” ujar pria yag menjadi kurator dalam Pameran Tunggal Seni Rupa karya Nadira.
Lukisan karya Nadira dalam periode yang disebutkan Agus antara lain “Pesona Bali“ tahun 2021, karya “Tari Kecak” tahun 2020, “Sepotong Senja Di Bali“ tahun 2021, “Melasti” tahun 2020, “Sang Penari “ tahun 2020, “Tanah Lot“ tahun 2020, dan “Senja Di Tanah Lot “ tahun 2020. Kekayaan seni dan obyek keindahan Pulau Bali menjadi salah satu daya tarik untuk membangkit spirit Nadira untuk terus mencipta.
“Perjalanan batin Nadira secara tidak disadari menautkan antara Bali dan Mojokerto seperti halaman rumahnya sendiri. Ada jejak tapak sejarah yang hilang kemudian diciptakan kembali suasana yang berbeda yang diciptakan oleh remaja di masa kini,” cetus Agus.
Agus melanjutkan, dalam karya Periode Mojokerto, Nadira tertarik peninggalan masa lalu dan cerita-cerita kebesarannya. Candi Jedong, Brajang Ratu, Candi Brahu, Wringin Lawang, dan Kolam Segaran. Karya Candi Brajang Ratu dengan berbagai eksplorasinya terutama keberanian dalam menggoreskan kuas dengan cat warna-warni, komposisi dan garis yang berirama.
“Saya melihat pada periode Candi Brajang Ratu ini sepertinya emosinya keluar dengan teratur menciptakan irama garis-garis lengkung, berkelok-kelok membentuk sebuah komposisi yang teratur tetapi ada juga dengan bermain-main warna mempermainkan bentuk candi dengan cat warna-warni,” paparnya.
Ledakan Imaji Seniman Muda
Pandangan dari sudut berbeda datang dari Dadang Ari Murtono, penyair yang pernah menerima Anugerah Sutasoma. Melihat pameran karya Nadira telah membawa ingatannya pergi ke khazanah puisi gelap yang pernah menjadi isu besar di skena kesusastraan Indonesia pada dekade 2000-an.
Gerakan puisi gelap ini lahir dan tumbuh di Surabaya dan berkembang di kalangan anak-anak muda yang berkuliah di Universitas Airlangga. Menurutnya, gerakan ini menjadi perbincangan hangat sastrawan nasional lantaran bentuknya menyusupkan warga gelap gulita ke dalam lanskap perpuisian Indonesia yang terang benderang.
“Lukisan-lukisan Nadira, dalam beberapa hal, menyerupai puisi-puisi yang dihasilkan oleh gerakan puisi gelap ini,” ungkap Dadang.
Jika para penyair gerakan puisi gelap membangun teks mereka dengan patahan-patahan antar kata atau kalimat dengan imaji yang melompat-lompat, maka Nadira membangun lukisannya dengan pemiuhan objek yang ia lukis. Dadang menilai, Nadira seakan tak pernah ingin membiarkan kanvasnya menjadi kanvas yang tertib.
Alhasil, sebagai konsekuensi logis dari apa yang dilakukan nadira, lukisannya menjadi susah dipahami, seolah ada kegelapan yang menyelimutinya. Tentu saja, kata Dadang, kegelapan dalam arti metaforis ketimbang harafiah, sebab bagaimana pun kita tahu Nadira cenderung menggunakan warna-warna terang dalam kerja-kerja seni rupanya.
“Lukisan-lukisan dengan judul “Merdeka”, “Kuda”, atau “Matahari dan Ombak” saya kira akan pas untuk memberi gambaran bagaimana Nadira menyusupkan kegelapan dalam kerja-kerja seni rupanya,” beber penerima Penghargaan Sastra Utama Badan Bahasa ini.
Dadang rupanya pernah menerbitkan catatan sendiri yang terinsipirasi dari perjalanan karya Nadira lewat pameran tunggal bertema ‘Tamasya Warna’ yang digelar pada paruh akhir tahun 2018. Lima tahun berlalu, ia pun kembali ditarik ke catatan serta katalog pameran tersebut ketika muncul agenda pameran tunggal kedua dari karya-larya Nadira.
“Dalam catatan lima tahun yang lalu tersebut, saya juga menyinggung tentang Tamasya Energi. Yang saya maksud adalah energi-energi yang meledak dalam lukisan Nadira, yang tersebar di semua lukisannya melalui pilihan warna dan saya padankan dengan karnaval kata tak berimbuhan dalam puisi. Cara dia menggores, serta ukuran lukisan yang terbilang kolosal setidak-tidaknya di beberapa lukisan, jauh lebih besar dari Nadira,” terangnya.
Kini, mencermati goresan-goresan kanvas Nadira yang akan ditampilkan dalam pameran tunggal kedua, sejumlah tanya terbersit di benak Dadang. Kenapa Nadira tidak pernah menghadirkan satu figur atau satu objek dengan wajar? Apakah itu permainan belaka? Atau ada hal lain yang bekerja di sana?
“Tentu, Nadira tidak punya kewajiban menjawab pertanyaan seperti ini. Dan yang lebih penting, jawaban dari Nadira (jika ia berkenan menjawab) akan memiskinkan medan tafsir yang membentang dalam lukisan-lukisannya. Dan itu, saya kira, tidak terlalu menarik,” tukasnya.
Berangkat dari pemikiran itu, maka Dadang mencoba menerka dan menghubungkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dengan dunia di mana Nadira tumbuh dan berkembang. Menurutnya, Nadira adalah generasi yang tumbuh dalam dunia digital yang kerap mengaburkan antara nyata dan maya.
Wajah-wajah dalam postingan yang muncul di Instagram, misalnya. Apakah benar-benar wajah asli, atau wajah-wajah yang telah melalui sensor ketat, sentuhan filter, penyuntingan dengan berbagai aplikasi, dan lain sebagainya?
Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial berperan besar dalam isu kesehatan mental. Dan bukan rahasia lagi jika generasi digital adalah generasi yang rentan menderita karenanya.
Dalam rangkaian karya seri potret wajah yang membentang mulai dari “Mamaku di Waktu Kecil” hingga “Ironi Sokratik”, Dadang menaksir Nadira bersuara lantang mengenai hal itu. Wajah-wajah dalam kanvasnya terpiuhkan sedemikian rupa sehingga kita tidak tahu lagi apa yang ada di sana.
“Atau barangkali juga, itu adalah wajah-wajah yang menderita kecemasan, diganggu tuntutan ini itu, dan dihantui oleh bayangan tentang hidup orang lain yang jauh lebih indah daripada hidup kita sendiri? Pada titik inilah saya, sekali lagi, merasa mendapat peluang untuk menghubungkan lukisan-lukisan Nadira dengan gerakan puisi gelap di Surabaya lebih dari satu dekade yang lalu,” ulasnya.
Sastrawan lain, Binhad Nurrohmat, menggambarkan tajuk karya-karya rupa Nadira dalam pameran kali ini setelah sekian tahun pengalamannya berkarya menyajikan suatu arsip perjalanan fisikal dan yang sudah melampaui yang fisikal. Karya-karya ini memberi tahu publik bahwa perjalanan sanggup mencurahkan perbendaharaan objek yang beraneka dan antusiasme yang berbeda: satwa, manusia, gedung tua, kota-kota, alam, juga jejak kontemplasi dan suasana.
“Kepada kita bukan sekadar oleh-oleh perjalanan yang dibagikan Nadira melalui karya-karyanya kali ini. Kita diajak pula seakan turut dalam perjalanannya, kita pun merasakan pengalaman-pengalamannya melalui sapuan bentuk dan warna dari satu tempat ke tempat lainnya,” tandasnya.
Binhad meyebutkan, suatu safari antar ruang juga terasakan lewat pameran ini. Dari Tanah Lot di Bali ke Trowulan di Mojokerto, juga hingga ke Montana Amerika Serikat. Bayangan jarak antar tempat-tempat yang berbeda itu seperti pelesir yang jauh di berbagai penjuru yang berlainan.
Memang, sudah klise hubungan antara jarak dengan perjalanan, yang terasa fisikal dan permukaan. Kita perlu sejenak menunda sangkaan dan kesimpulan kali ini. Apakah yang klise pasti sia-sia, hambar atau tak bisa memberikan pengalaman yang baru? Bukan hanya tak ada yang baru di bawah matahari, namun adakah yang benar-benar selalu sama selamanya dan tak berubah?
Sebagian karya-karya di pameran ini rileks beralih dari satu objek ke objek lain yang berbeda, juga pengulangan menghadirkan objek yang sama seperti “Candi Bajangratu”. Ini semacam serial. Pengulangan menghadirkan objek yang sama ini seperti hendak menantang diri sendiri menemukan sesuatu yang berbeda dari objek yang sama.
Apa yang menarik, menggairahkan, klise atau membosankan memiliki kemungkinan yang sama kehadirannya dalam pengulangan menghadirkan objek yang serupa. Binhad menilai, awal dan akhir perjalanan akan selalu batal atau tertunda oleh perjalanan lain atau yang berikutnya.
“Kita tak tahu atau tak bisa menerka perjalanan seperti apa lagi yang akan memberi kita pengalaman lain dari perupa Nadira lewat karya-karyanya, kelak. Perjalanan kali ini memberikan pengalaman yang beragam, dalam arti objek fisikalnya. Dimensi perjalanan berikutnya mungkin akan lebih menuju ke arah yang non- fisikal — suasana batin, kedalaman renungan, misalnya — yang akan lebih memperkaya makna dan hasil perjalanan,” pungkasnya. (im)