
IM.com – Di Indonesia, khususnya di tanah Jawa, kita mengenal berbagai perayaan bernuansa spiritual mulai dari Ramadan, Idul Kurban hingga 1 Suro. Tapi ada pertanyaan besar yang sering diajukan, apa dampak sosial dari semua ini?
Kita puasa sebulan penuh tapi berita tentang kekerasan seksual di pesantren tetap menghiasi layar. Kita potong hewan kurban tiap tahun sebagai simbol pemotongan nafsu hewani tapi keserakahan manusia justru makin menggila. Kita berziarah dan bertapa di bulan Suro, tapi korupsi dan kejahatan masih memenuhi pemberitaan.
Perlu kiranya menelusuri jejak sejarah. Apakah ini warisan leluhur? Banyak yang tidak tau bahwa “Suro” bukan asli Jawa melainkan berasal dari kata Arab ‘Asyura’. Ini adalah hari raya di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Persia, perayaannya bersaing dengan Nairuz milik Zoroaster.
Setelah peristiwa tragis Karbala (680 M), di mana cucu Nabi Muhammad, Husein bin Ali, gugur kemudian hari ‘Asyura’ diubah menjadi hari berkabung bagi kalangan Syiah. Maka muncullah doktrin, “Haram berpesta di bulan Muharram.”
Tradisi ini masuk ke Jawa pada masa Sultan Agung (1613–1645), Raja Mataram Islam. Ia mengganti kalender Jawa (Pranata Mangsa) dengan kalender Hijriah, menggeser tahun baru lokal ke 1 Muharram yang kemudian disebut 1 Suro.
Dari sinilah sejarah penghapusan identitas lokal dilakukan secara halus dibungkus spiritualitas dan dikunci dengan larangan mempertanyakan dogma. Padahal, tidak ada kaitan antara Karbala dan kebudayaan agraris Jawa. Tapi propaganda spiritual berhasil dibangun dan bertahan hingga kini.
RITUAL KOSONG
Mari kita jujur. Ritual apa pun, bila tidak melahirkan moralitas, hanyalah seremoni kosong.
Ramadan: Dikatakan sebagai bulan menahan nafsu. Tapi kasus pelecehan seksual di lingkungan agama tetap marak.
Idul Kurban: Dikenang sebagai simbol pemotongan sifat hewani. Tapi manusia tetap lebih rakus dari hewan yang dikurbankan.
1 Suro: Dirayakan dengan ziarah dan tirakat, tapi tanpa refleksi sosial atau solusi nyata untuk penderitaan rakyat. Korupsi kian menggila.
Dogma tidak mengenal koreksi. Tidak seperti ilmu pengetauan yang terus memperbarui dirinya, ritual keagamaan justru stagnan, kadang menolak ditinjau ulang. Akibatnya? Generasi milenial, Gen Z dan Gen Alpha makin sulit menemukan relevansi.
Mari kembalikan ruh ritual sebagai penggerak moral dan etika sosial. Bila itu tak terjadi maka generasi mendatang akan menertawakan tradisi yang kita puja-puja hari ini karena dianggap tak lebih dari teatrikal tanpa makna.
Kita tidak menolak spiritualitas. Tapi spiritualitas tanpa konteks sosial adalah kemewahan yang tak lagi relevan.
Sudah saatnya kita menyaring, mana warisan budaya lokal yang patut dilestarikan? Mana tradisi impor yang hanya menjadi alat kontrol sosial?
Jika tidak, ritual keagamaan akan menjadi artefak, dipajang, difoto, tapi tidak lagi hidup dalam keseharian rakyat. (kim)