IM.com – Di balik sorak-sorai podium dan gemerlap panggung kehormatan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Jawa Timur IX 2025, terselip kisah atlet kontingen Kabupaten Mojokerto yang harus bertanding dengan asupan gizi minim dan kondisi fisik tak ideal.
Seorang pengurus KONI Kabupaten Mojokerto, yang meminta identitasnya dirahasiakan, membagikan kesaksian langsung dari arena Porprov.
Ia mengaku menyaksikan sendiri betapa atlet-atlet binaan daerahnya harus berjuang bukan hanya melawan lawan di gelanggang, tapi juga melawan lapar dan tekanan psikologis.
“Saya tahu sendiri, makanan mereka hanya nasi dan lele kecil satu ekor. Tidak pernah ada daging. Itu sangat tidak layak bagi atlet yang sedang bertanding,” ungkapnya.
Padahal, alokasi anggaran konsumsi ditetapkan sebesar Rp30 ribu per porsi untuk setiap atlet. Namun di lapangan, menurutnya, sajian yang diberikan bahkan tak layak disebut sebagai menu atlet profesional.
“Kalau dihitung, mungkin hanya Rp10 ribuan. Bayangkan, tahu goreng satu, selada tanpa sambal, dan irisan buah setipis layar handphone,” katanya lirih.
Keluhan tak hanya datang soal makanan. Ia juga menyoroti perlakuan terhadap atlet yang dipaksa check out dari hotel sejak pagi, bahkan ketika mereka masih harus berlaga di hari yang sama.
“Pagi-pagi harus keluar hotel, bawa barang sendiri ke gelanggang. Ada yang sampai menangis karena stres,” ceritanya.
Ia mengaku terpaksa memotong gaji tim official demi menambah biaya penginapan agar atlet bisa beristirahat dengan layak.
“Ini keputusan yang berat. Tapi demi kondisi anak-anak, saya minta bendahara memotong honor tim,” katanya.
Masalah logistik Porprov di bawah tanggung jawab EO (event organizer) juga disebut tak melalui evaluasi yang memadai. Sang pengurus mengaku kecewa karena ketua KONI Mojokerto menolak evaluasi di akhir kegiatan.
“Padahal ini penting untuk perbaikan. Tapi ajakan evaluasi tidak pernah digubris,” ucapnya.
Dengan total anggaran Rp4,2 miliar, sebanyak Rp3 miliar lebih disebut digunakan untuk mendukung pelaksanaan Porprov, termasuk akomodasi, konsumsi, hingga perlengkapan tanding. Namun, kenyataan di lapangan menyisakan tanda tanya soal efisiensi dan transparansi pengelolaan dana hibah tersebut.
“Dana dari Pemda itu sangat cukup. Tapi pelaksanaan yang semrawut membuat atlet kita menderita,” pungkasnya. (ima/sip)