Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Muhammad Jazuli

IM.com – ‎Dewan Pers kembali menerima lonjakan laporan pengaduan masyarakat terhadap media massa. Hingga semester pertama tahun 2025 telah masuk 200 laporan resmi terkait pelanggaran kode etik jurnalistik. Sebelumnya, tahun 2024 tercatat 625 laporan dan hanya 67 persen di antaranya berhasil diselesaikan atau sebanyak 471 kasus.

‎Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers, Muhammad Jazuli, dalam jumpa pers yang digelar di Aula Dewan Pers dan disiarkan langsung via kanal YouTube pada Selasa, 5 Agustus 2025 pukul 11.00 WIB, menjelaskan bahwa sebagian besar laporan berasal dari perorangan, lembaga pemerintahan, hingga perusahaan swasta. Mereka merasa dirugikan oleh pemberitaan yang tidak berimbang, sensasional atau bahkan cenderung memfitnah.

‎“Kami menerima dan menangani pengaduan secara proporsional dan profesional,” tegas Jazuli. Ia menguraikan tiga pola penyelesaian pengaduan. Yakni melalui surat jika pelanggaran sudah jelas, menggunakan risalah jika dibutuhkan klarifikasi tambahan dan pengambilalihan langsung (take over) jika mediasi gagal menemukan titik temu.

‎Sayangnya, proses penanganan sering kali berjalan lamban. Bukan karena ketidakseriusan melainkan karena keterbatasan jumlah personel Dewan Pers yang tidak sebanding dengan volume kasus yang masuk setiap tahun. Hal ini kerap memicu ketegangan di lapangan, termasuk demonstrasi dari komunitas jurnalis yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak-pihak yang melaporkan mereka.

‎LEDAKAN MEDIA

‎Menurut Dewan Pers, salah satu akar masalah terletak pada menjamurnya media baru yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas jurnalistik. Banyak wartawan di daerah yang antusias membuat berita tetapi tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang kode etik maupun kaidah jurnalisme profesional.

‎Fenomena ini diamini oleh Dr. Dhimam Abror Djuraid, mantan anggota Dewan Pers. Dalam wawancara khusus, ia mengungkap bahwa dari sekitar 60.000 media massa yang ada di Indonesia saat ini tidak sampai 2.000 yang terverifikasi oleh Dewan Pers.

‎“Artinya, lebih dari 58.000 media belum bisa dikatakan sebagai perusahaan pers yang profesional, baik dari sisi manajemen maupun kompetensi wartawannya,” ujar Dhimam.

‎Menurutnya, ini adalah buah pahit dari euforia reformasi pasca-1998 yang membuka kran kebebasan pers seluas-luasnya. “Sekarang mendirikan media jauh lebih mudah daripada membuat tempe,” katanya menyindir. Cukup bermodal akta notaris dan surat pengesahan Kemenkumham, seseorang bisa langsung membentuk media dan merekrut wartawan tanpa latar belakang jurnalistik yang layak.

‎SAMPAH PERADABAN

‎Dalam diskursus jurnalistik di Surabaya, kondisi ini disebut sebagai “sampah peradaban” dari era keterbukaan yang salah arah. Demokrasi yang seharusnya mencerdaskan publik justru membuka peluang penyalahgunaan informasi media yang tak punya standar etik.

‎”Semua profesi memiliki kode etik. Kesannya membelenggu tapi itu mutlak karena penting sebagai perlindungan profesi,” tutur Jazuli.

‎Mirisnya, banyak dari media itu menampilkan diri seolah-olah profesional padahal tidak memiliki mekanisme kerja redaksi, tidak memahami verifikasi berita juga tidak memahami kode etik jurnalistik.

‎Akibatnya, kepercayaan publik terhadap media mengalami penurunan drastis. “Masyarakat kini makin cerdas dan bisa membedakan mana berita yang layak dipercaya dan mana yang hanya menjual sensasi,” tegas Dhimam.

‎Usulan untuk melakukan moratorium atau pembatasan izin pendirian media pernah mencuat, namun ditolak Dewan Pers karena dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi. Meski demikian, tanpa kontrol kualitas dan sistem verifikasi yang ketat, kebebasan pers bisa berubah menjadi ancaman bagi ruang publik yang sehat.

‎Fenomena ini merupakan alarm keras bagi dunia jurnalisme dan kebebasan pers di Indonesia. Tanpa etika, tanpa pendidikan jurnalistik dan tanpa mekanisme verifikasi yang serius, media bisa menjadi alat kekerasan simbolik yang membunuh akal sehat.

‎Publik seharusnya tidak dibiarkan sendirian menghadapi media-media yang serampangan. Negara, melalui lembaga seperti Dewan Pers, mesti memperkuat sistem verifikasi dan edukasi bagi jurnalis sembari mendorong masyarakat untuk lebih cerdas dalam mengonsumsi berita.

‎Bebas bukan berarti tanpa aturan. Demokrasi bukan berarti bebas berbohong. ‎(kim)

78

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini