Iei Hiem Hwie, Wartawan Tionghoa Orde Lama.

IM.com – Komunitas literasi dan sejarah Indonesia berduka. Pada Rabu, 3 September 2025, Oei Hiem Hwie atau yang akrab disapa Pak Wie, sosok penyelamat buku dan dokumen sejarah bangsa, berpulang di usia 90 tahun.

‎Kepergiannya meninggalkan duka mendalam namun juga menyalakan kembali kesadaran, bahwa sejarah bangsa ini masih hidup berkat tangan-tangan sederhana yang merawatnya dengan cinta.

‎Dari Wartawan ke Penjara

‎Lahir di Malang pada 24 November 1935, Pak Wie tumbuh di lingkungan multikultur. Sejak kecil, ia sudah jatuh cinta pada buku. Koleksi engkong dan keluarganya menjadi bekal awal dalam perjalanan panjangnya sebagai seorang pengarsip dan kolektor sejarah.

‎Perjalanan hidupnya penuh liku. Ia menempuh pendidikan di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) lalu mendalami jurnalistik di Universitas Res Publika dan Pro Patria. Semangatnya mengantarnya bekerja di Trompet Masjarakat, sebuah koran yang dikenal progresif pada masanya.

‎Namun sejarah kelam bangsa menjeratnya. Pasca peristiwa 30 September 1965, Pak Wie ditangkap, ditahan bertahun-tahun tanpa pengadilan, dan akhirnya dibuang ke Pulau Buru. Di sanalah ia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer.

‎Dari keterbatasan, keduanya melahirkan sejarah, membantu menyelundupkan dan menjaga naskah Tetralogi Buru, salah satu karya sastra terbesar Indonesia.

‎“Penjara adalah akademi,” ucap Pak Wie suatu ketika. Kalimat itu seolah menjadi mantra hidupnya bahwa penderitaan tidak membuatnya patah, justru menempanya menjadi manusia yang lebih tajam dalam menjaga ingatan bangsa.

‎Tahun 2001, dari sisa-sisa koleksi yang berhasil diselamatkan, lahirlah Perpustakaan Medayu Agung di Surabaya. Bukan sekadar tempat penyimpanan tetapi rumah kenangan dan ruang belajar sejarah. Ribuan buku, majalah, arsip koran, dokumen pribadi tokoh bangsa, hingga benda antik ia rawat dengan penuh dedikasi.

‎Banyak kolektor asing datang dengan tawaran fantastis, bahkan hingga Rp 1  miliar untuk membeli koleksinya. Tetapi Pak Wie menolak tegas.

‎“Kalau sejarah kita dibawa keluar negeri, mereka bisa memutarbalikkannya. Itu sebabnya saya simpan, agar generasi penerus tau sejarah yang sebenarnya,” tegasnya.

‎Medayu Agung kemudian berkembang dengan dukungan Yayasan dan Pemerintah Kota Surabaya. Di balik setiap rak, bukan hanya kertas dan debu masa lalu yang tersimpan, tetapi juga cinta seorang manusia yang percaya bahwa bangsa tanpa ingatan adalah bangsa yang hilang arah.

Koran Terompet Masyarakat edisi 18 November 1960 yang berhasil diselamatkan oleh Pak Wie.

‎Bersama Bung Karno dan Pram

‎Pak Wie menyimpan kisah-kisah personal yang menambah bobot sejarahnya. Salah satunya adalah pertemuannya dengan Presiden Soekarno. Ia mengenang betapa Bung Karno begitu peduli dengan hal-hal kecil, bahkan mengancingkan baju wartawan yang tidak rapi.

‎Dari pertemuan itu, Bung Karno menghadiahinya sebuah jam tangan emas yang hingga kini tetap berkilau, seakan menjadi simbol persahabatan dan penghargaan sejarah.

‎Kisah lainnya adalah saat ia membantu Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Dari kertas semen bekas, naskah besar lahir. Ketika bebas, Pram menitipkan manuskrip asli karya-karyanya kepada Pak Wie. Koleksi itu kini menjadi mahakarya bangsa yang tak ternilai.

‎Meski statusnya sebagai eks tapol membuat hidupnya penuh kesulitan, sulit mendapat pekerjaan, selalu diawasi intel, hingga harus berjuang bertahan dengan toko buku—Pak Wie tidak menyerah.

‎Ia membuktikan bahwa satu orang, dengan tekad dan kecintaan pada ilmu, bisa menyelamatkan sebuah bangsa dari kehilangan ingatan.

‎Kepergian Pak Wie meninggalkan ruang kosong dalam dunia literasi Indonesia. Namun air mata duka ini juga menyiratkan rasa syukur bahwa kita pernah memiliki seorang penjaga ingatan bangsa, yang memilih setia pada sejarah, meski harus mengorbankan kenyamanan hidupnya.

‎Selamat jalan Pak Wie. Buku-buku itu akan tetap berbicara untukmu. Ingatan bangsa ini akan terus hidup bersamamu. (kim)

12

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini