Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra mengungkapkan, seluruh APBD 2026 terkoreksi akibat pemotongan transfer pusat ke daerah mencapai Rp 316 miliar.

‎IM.com — Pembangunan desa selalu berjalan seiring dengan satu hukum lama yang tak pernah lekang oleh zaman: jerbasuki mawa bea. Tak ada kesejahteraan tanpa biaya.

‎Maka ketika Alokasi Dana Desa (ADD) dipangkas, yang terancam bukan sekadar angka dalam APBD, melainkan denyut pelayanan paling dasar yang langsung bersentuhan dengan rakyat.

‎Tahun anggaran 2026 menjadi ujian berat bagi pemerintahan desa di Kabupaten Mojokerto. ADD terpangkas Rp 30 miliar, dari Rp 139,108 miliar pada 2025 menjadi Rp 108,314 miliar. Dampaknya nyata: penghasilan tetap (siltap) kepala desa dan perangkat desa di 72 desa terancam minus hingga Rp 1,7 miliar.

‎Di wilayah-wilayah itulah kepala desa dan pamong berdiri sebagai ujung tombak negara, melayani administrasi, sosial, hingga menjaga harmoni warga.

‎Pemangkasan ADD bukan berdiri sendiri. Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra mengungkapkan, seluruh APBD 2026 terkoreksi akibat pemotongan transfer pusat ke daerah mencapai Rp 316 miliar.

‎Pemotongan terbesar menyasar Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 176,3 miliar, Dana Bagi Hasil (DBH) Rp 85 miliar, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik Rp 10,2 miliar.

‎229 Desa Terpangkas

‎Dana Desa (DD) untuk 299 desa pun ikut terpangkas Rp 42,9 miliar.‎“Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pemerintahan dan pembangunan daerah,” tegas bupati dalam audiensi bersama perwakilan kepala desa dan perangkat desa di ruang SBK Pemkab Mojokerto, Rabu (24/12/2025).

‎Di tengah tekanan itu, pemda mengambil langkah pengorbanan. TPP ke-13 dan 14 ASN ditiadakan, perjalanan dinas ASN dan DPRD dipangkas, serta sejumlah anggaran pembangunan dirasionalisasi.

‎Namun pemda juga menyadari, desa tak boleh runtuh. “Ada 72 desa yang minus siltap Rp 1,7 miliar. Itu akan kita carikan anggarannya. Siltap panjenengan tidak akan terkurangi,” janji Al Barra.

‎Sekdakab Mojokerto Teguh Gunarko menambahkan, pemangkasan ADD sejatinya berusaha dihindari. Namun derasnya pemotongan transfer pusat memaksa pemda mengoreksi banyak pos.

‎Mulai DBHCHT Rp 30,1 miliar, gaji dan TPP ASN Rp 40,4 miliar, hingga penambahan SiLPA Rp 62 miliar. “Bukan hanya desa yang berkorban. ASN dan program visi-misi juga kami korbankan,” ujarnya.

‎Namun kegelisahan desa telanjur membuncah. Ratusan kepala desa dan perangkat desa yang tergabung dalam Pamong Majapahit turun ke halaman Kantor Pemkab Mojokerto.

‎Di bawah terik matahari, mereka menyuarakan satu keresahan, masa depan desa tak bisa dibangun dengan anggaran yang dipangkas. Bagi mereka, ADD adalah napas pelayanan dan sandaran hidup ribuan keluarga.

‎Koordinator aksi Sunardi, Kepala Desa Temon, menyampaikan kekecewaan atas hasil audiensi. Ancaman penghentian penarikan PBB dan penolakan kunjungan bupati mencuat sebagai simbol perlawanan. Bukan karena anti-pemerintah, melainkan karena ingin didengar.

‎Di balik spanduk dan teriakan, tersimpan semangat heroik pamong desa yang bertahan menjaga pelayanan publik di garis terdepan. Mereka berdiri bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk memastikan desa tetap hidup.

‎Sebab mereka paham, tanpa biaya, kesejahteraan hanya akan tinggal semboyan. Dan di Mojokerto, desa-desa itu sedang berjuang agar semboyan tak berubah menjadi kesunyian. (kim)

9

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini