IM.com – Pengorbanan Riyanto pada malam Misa Natal 2000 di Gereja Ebben Haezer, Jalan Kartini, Kota Mojokerto yang selalu dikenang setiap tahun membuat kisahnya tak pernah usang. Seperti hari ini, Sabtu (14/12/2019), sebanyak 1.900 orang melakukan tabur bunga dan mengkirab bendera Merah Putih sepanjang 100 meter.
Tabur bunga dan kirab bendera merah putih dilakukan 1.900 orang dari berbagai kalangan, anggota Banser, TNI, Polri dan pemuda lintas agama. Mereka berjalan dari Gereja Sidang Jemaat Pantekosta hingga makam Riyanto di Jalan Sabukalu, Kecamatan Prajuritkulon, Kota Mojokerto.
Acara ini sebagai peringatan Haul ke-19 Riyanto yang diberi gelar Pejuang Kerukunan Umat Beragama.
“Kegiatan ini agar kita dapat mengambil hikmah serta meneladani semangat perjuangan dan pengorbanan Riyanto dalam menjaga kerukunan umat beragama,” kata Kapolresta Mojokerto AKBP Bogiek Sugiyarto, Sabtu (14/12/2019).
Bogiek mengatakan, almarhum Riyanto patut dijadikan teladan larena kepeduliannya menjaga keamanan dan Kebhinekaan di Negara Kesatuan RI.
“Almarhum layak dissebut Pahlawan Kemanusiaan,” ucapnya.
Sejarah telah mencatat aksi heroik Riyanto kala mengamankan perayaan Misa Natal di Gereja Ebben Haezer, Kota Mojokerto pada 24 Desember 2000. Saat itu, Riyanto bersama lima orang temannya anggota Banser membantu aparat kepolisian menjaga Perayaan Misa Natal di Gereja Sidang Jemaat Pantekosta tersebut.
Jemaat gereja yang semula mrayakan Misa Natal dengan khidmat tiba-tiba dikagetkan dengan penemuan sebuah tas kecil di bawah salah satu bangku jemaat.
“Saya buka tas tersebut untuk mencari identitas pemiliknya. Ternyata tidak ada apa-apa selain bungkusan kado,” tutur Rudi Sanusi Wijaya, Pendeta Gereja Eben Haezer, Mojokerto.
Karena masih curiga, Rudi meminta pengurus gereja untuk segera menyerahkan bungkusan kado tersebut ke petugas keamanan yang berjaga. Namun sebelum bungkusan kado diberikan kepada petugas, terdengar suara teriakan “TIARAP” dari anggota Banser di luar gereja.
Suara peringatan itu dilontarkan Riyanto yang sedang mendekap bom lain. Bom itu sejatinya ditemukan petugas di bawah telepon umum yang terletak di seberang gereja. Namun Riyanto yang ikut memeriksa bom yang terbungkus kotak itu segera mendekapnya sembari berteriak agar seluruh jemaat tiarap sambil berlari menjauhi Gereja.
Riyanto tahu ada ratusan jemaat pria-wanita dan anak-anak di dalam gereja. Karena itu, ia berniat membuangnya ke tempat yang agak jauh dari gereja.
Pemuda yang kala itu masih berusia 25 tahun memasukkan bungkusan berisi bom itu ke dalam saluran air. Tujuannya barangkali agar bom yang dimasukkan ke dalam air tidak bisa meledak.
“Tapi bom itu tetap meledak di dalam saluran air,” ujar Rudi.
Dan sekejap, bom meledak dalam dekapan Riyanto. Tubuh Riyanto terpental sejauh 30 meter, melayang melewati Gereja Eben Haezer dan mendarat di belakang rumah warga. Jenazahnya sulit dikenali.
Jari tangan dan wajahnya hancur. Ada bagian tubuhnya yang ditemukan 100 meter dari lokasi ledakan. Sementara seorang rekannya cacat di mata kanannya.
Setelah ledakan itu, Rudi teringat bahwa di dalam gereja masih ada satu bungkusan lagi yang tadi dia temukan belum sempat diberikan kepada petugas. Bungkusan tersebut kemudian dibawa ke luar gereja dan meledak di tengah jalan.
Berdasarkan penyidikan kepolisian, kawanan pelaku bom adalah anak buah Ali Imron, pelaku bom Bali.
Riyanto dan peristiwanya, bukanlah masa lalu yang usang. Peristiwa memilukan itu akan selalu menjadi sebuah momen yang dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia.
Nama Riyanto akan selalu ada di dalam hati setiap orang sebagai pejuang kerukunan umat beragama. Selain dijadikan nama Jalan Riyanto dengan gapura megah di Prajurit Kulon, Kota Mojokerto. (im)