Kalau saya nyatakan “Saya Emha, Saya Manusia”, orang akan malah kehilangan kepercayaannya kepada keEmhaan dan kemanusiaan saya. Maka saya juga tidak berani ikut teriak “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Gadis yang “kemayu” adalah yang tak percaya diri pada keayuannya, dan gara-gara ia “kemayu”: sirna ayunya.
Maka dengan segala kerendahan hati inilah seri berikut Tafakkur Pancasila. Tengok dan nikmatilah keindahan sejati dari ragam manusia hasil karya Allah Swt. Sebutlah: pluralitas, Bhinneka Tunggal Ika, “syu’uban wa qabail” atau apapun. Semua menikmati suara kokok ayam, yang bunyi orisinalnya adalah hak paten Allah Swt. Dan semua mengimpresikannya, sesuai dengan “roso” dan kadar rasa syukur masing-masing.
Maka terbitlah interaksi dan orchestra peradaban kokok ayam: Kukeleku (Belanda), Cockadoodledoo (Inggris), Koukoukoukou (Jepang), Quiquiriqui (Spanyol), Chichirichi (Italia), Cocorico (Perancis), Gue-gue (China), Kikeriki (Jerman), Koukarekou (Rusia), Kongkorongok (Sunda), Kukurunuk (Madura), Kukuruyuk (Jawa), termasuk Shoutud-Diik (Bahasa Arab = suara kokok ayam) hanya merumuskan tapi tak menirukan. Saya gagal menemukan bagaimana masyarakat Betawi menirukan kokok ayam… Ketemunya malah Gue-gue, kosakata utama budaya Betawi.
Secara artistik, budaya Jakarta memang paling kompatibel dengan Gue-gue, dalam pengertian simbolik maupun kontekstualitas politik, budaya maupun kekuasaan. Maka kepemimpinan di Jakarta juga cenderung Gue-gue. Dalam konteks karakter sosial budaya, metropolitan Jakarta juga yang mempelopori lahirnya “Generasi Lu-lu Gue-gue”. Dalam skala nasional, karena Jakarta adalah “sokoguru” sejarah Indonesia – maka bahkan sosialisasi, akulturasi, dan perasukan unsur Gue-gue sudah mulus masuk kampung-kampung, kampus-kampus, Pesantren, darat, laut, hutan, taman, kebun, di tempat-tempat cahaya benderang maupun di remang-remang kegelapan.
Secara tradisi alam maupun logika budaya, Jakarta seharusnya menjadi yang “paling Indonesia”. Ia bukan hanya Ibukota, tapi juga “pemimpin keIndonesiaan”. Jakarta paling nasionalis, paling patriotik. Lebih tiga-perempat jumlah Rupiah ada di saku mereka. Mereka makan paling banyak, bersandang paling necis. Juga Jakarta adalah “Tuhan”nya setiap keputusan nasional. Sebagai orang Jawa saya membayangkan di jidat Jakarta ada tattoo “Sedumuk batuk, senyari bumi”. Jakarta adalah pengendali kedaulatan Negara, pendiri dan penjaga pagar harga diri Bangsa. “Prajurit” yang membentengi setiap upaya rongrongan atas kekayaan nasional. Jakarta menjadi pemimpin kearifan dalam kebersamaan, pelopor kelapangan dalam keragaman.
Bukan sebaliknya. Bukan Jakarta memproses program “bunyi kokok ayam adalah Gue-gue”, sehingga Kukeleku, Cockadoodledoo, Koukoukoukou, Quiquiriqui, Chicnhirichi, Cocorico, Quiquiriqui, Chicchirichi, Cockadoodledoo, Kikeriki, Koukarekou, Kongkorongok, Kukurunuk, Kukuruyuk dan lain-lainnya salah semua. Bahkan kalau mau ilmiah dan adil, yang benar sejati adalah kokok ayam itu sendiri. Manusia cuma peniru, kemudian mencuri dan memanipulasi, akhirnya berlagak-lagak dan GR sendiri.
Di Hari Pancasila, Ayam Jago tiba-tiba menjadi sangat menarik. Saya khusus datang ke tetangga penggemar ayam jago. Dia tahu apa yang saya resahkan, dan berkata: “Masalah utama bangsamu bukan pada perbedaan menirukan kokok ayam. Melainkan penggumpalan modal yang dipakai untuk mengendalikan kekuasaan. Kalau kalian rindu untuk menyatu kembali, syarat nilainya adalah kesungguhan terhadap keadilan. Untuk itu carilan Pemimpin yang Pawang”
“Hal kekuasaan nanti dulu. Kami sedang berdiskusi tentang Pancasila dan ragam kokok ayam…”, saya merespon.
“Kokok ayam cuma satu, yang beragam adalah interpretasinya. Kalau bangsamu bertengkar soal itu, kembalilah ke kebenaran ayam. Juga jangan lupa, kalau ada ayam berkokok, berarti dia tidak bisa dan tidak pernah bertelur. Dia sok jago, maka disebut ayam jago. Pancasila tidak ditelurkan oleh Ayam Jago, melainkan oleh Ibu Garuda Pertiwi. Garuda bukan Bapak. Indonesia adalah Ibu Garuda Pertiwi, pengayom seluruh penghuni bumi. 72 tahun Indonesia merdeka tak berkembang dewasa, karena Garudanya bencong.
(Diteruskan ke “Rindu Menyatu”)
Muhammad Ainun Nadjib
Yogya 1 Juni 2017.