IM.com – Ajang lomba burung berkicau masih saja ramai peserta, tempat-tempat latihan bersama pun demikian, beragam burung berkicau masih menghiasi gantangan penggemar burung. Di sisi lain tidak sedikit orang yang melakukan penangkaran burung yang menjanjikan keuntungan.
Fenomena tersebut juga membuat pasar burung dan media komunitas tak pernah surut, kesemuanya mengalir dalam arus dunia hobi.
Akan tetapi dinamika sosial dan hukum terus berubah. Muray batu, cucak hijau, cucak rowo, cililin, beo, kolibri, kenari, pleci atau kacamata jawa, opior jawa, dan gelatik, jajaran burung yang selama ini banyak dikoleksi maupun menjadi materi lomba, sejak diterbitkan Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No P20 tahun 2018. semuanya berubah.
Latar terbitnya Permen LHK No P20/2018 tersebut didorong oleh fenomena yang lain, yakni skibat kesadaran terhadap kelestarian alam yang belum juga membaik, populasi satwa dari waktu ke waktu semakin langka, tidak terkecuali burung.
Setiap peraturan baru selalu mengundang respon masyarakat, pun dengan Permen LKH. Ratusan pencinta burung berkicau di Mojokerto melakukan protes. Permen tersebut dinilai menghambat pelestarian beberapa jenis burung berkicau.
Koordinator aksi Adensyah mengatakan, Peraturan Menteri LHK itu menggantikan PP No 7 tahun 1999. Dalam peraturan yang baru disahkan, sejumlah burung kicau dimasukkan kategori satwa dilindungi.
Antara lain burung Muray Batu, Cucak Hijau, Cucak Rowo, Cililin, Beo, Kolibri, Kenari, Pleci atau Kacamata Jawa, Opior Jawa dan Gelatik. “Padahal sebelumnya burung-burung itu tak dilindungi sehingga bebas dikembangbiakkan maupun dipelihara,” tutur Adensyah di lokasi pertemuan pendemo Desa Jampirogo, Sooko Selasa (14/8/2018).
Rombongan akan menyampaikan aspiranya ke kantor BBKSDA di Surabaya. Aksi ini untuk menuntut pemerintah agar merevisi Permen LHK No P20 tahun 2018. “Kami menolak penerapan Peraturan Menteri tersebut, kami minta peraturan ini segera direvisi,” tandasnya.
Dia katakan, kalau masuk satwa dilindungi, setiap orang yang memelihara akan kena pidana. Dalam Pasal 21 ayat (2) UU RI No 5 tahun 1990 dilarang memelihara, menyimpan satwa yang dilindungi dalam kondisi hidup atau mati. Ancaman pidananya penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.
Adensyah menjelaskan, selama ini burung kicau Muray Batu dan lainnya, sudah banyak ditangkar. Baik penangkaran skala kecil maupun besar di Mojokerto. Belum lagi banyak penggemar lomba maupun koleksi. “Kami khawatir dengan pemberlakukan Permen No P20 ini akan banyak pecinta burung yang kena masalah hukum,” katanya.
Ketentuan lainnya menyangkut biaya apalabila mematuhi peraturan tersebut. Menurut Adensyah, untuk sekadar memelihara burung kicau tersebut, setiap penghobi harus mengeluarkan dana Rp 500 ribu. Belum lagi biaya untuk izin penangkaran mencapai Rp 2,5 juta.
Untuk mendapatkan sertifikat Rp 500 ribu, terangnya, izin penangkaran sampai Rp 2,5 juta, belum pajaknya. Harga burung Muray Batu Rp 2-3 juta. Padahal penangkaran butuh waktu lama, menjodohkannya susah. Kalau tidak cocok akan mati. Siapa yang akan mau menangkar?
Di tengah polemik tersebut, burung-burung tetap berkicau, walau kelestarian alam kian terancam. (uyo)