IM.com – Darurat sampah popok di Sungai Brantas tanpa perhatian serius dari pemerintah daerah menggugah LSM pemerihati lingkungan, Ecoton, mengadu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Mereka mendesak Kementerian LHK segera mengambil kebijakan pembersihan dan sejumlah tindakan lain untuk mencegah semakin liarnya pembuangan sampah yang dianggap membahayakan lingkungan.
“Sampah popok ini sudah menjadi terror bagi kesehatan lingkungan dan masyarakat. Tidak hanya di Gresik dan Mojokerto, tapi juga seluruh daerah yang dilintasi Sungai Brantas,” tandas Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi melalui keterangan tertulis, Rabu (13/2/2019).
Adapun sembilan daerah yang dilintasi Sungai Brantas yakni Kota dan Kabupaten Mojokerto, Gresik, Jombang, Kota Batu, Kabupaten Malang dan Kota Malang, Surabaya dan Sidoarjo.
Melalui surat resmi, Ecoton mengajukan enam tuntutan kepada Kementerian LHK terkait penanggulangan sampah popok. Selain pembersihan sungai dari sampah, LSM yang bermarkas di Desa/Kecamatan Wriginanom, Kabupaten Gresik ini meminta Kementerian atau lewat pemda memasang papan peringatan larangan di setiap titik sungai yang marak dijadikan tempat pembuangan sampah popok.
“Mengacu UU Pengelolaan Sampah 18/2008, membuang sampah atau popok bekas bayi adalah tindakan yang bisa diancam pidana dan denda. Maka KLHK yang bertanggungjawab atas pengelolaan sampah di Sungai Brantas harus mengeluarkan peringatan keras,” tegas Prigi.
Berikutnya, Ecoton mendesak Kementerian LHK agar mengeluarkan surat edaran kepada produsen popok untuk mencantumkan himbauan tidak membuang produk bekas pakai ke sungai. Sebagai gantinya, pengguna bisa membuang popok bekas ke tempat sampah setelah membersihkan kotorannya.
Keempat, Kementerian bekerjasama dengan produsen popok untuk menyediakan drop box di lokasi-lokasi strategis yang menjadi lokasi favorit membuang popok bekas. Beberapa lokasi yang menjadi kebiasaan masyarakat membuang sampah popok adalah sungai, pinggir sungai dan jembatan.
Kelima, Ecoton menyarankan agar sejumlah instansi terkait seperti Kementerian LHK, Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur berkoordinasi untuk mengendalikan sampah popok bekas di Kali Brantas.
“Terakhir, harus ada penegakan hukum tegas terhadap oknum yang membuang popok sembarangan ke sungai. Ini untuk memberi efek jera agar perbuatan itu tidak menular ke yang lain,” cetus Prigi.
Tingginya penggunaan diaper yang tidak diikuti dengan tersedianya sarana penampungan dan
pengelolaannya menambah beban lingkungan yang sudah ada. Ecoton membeber data hasil survei dan investigasi lapangan di sejumlah titik lintasan Sungai Brantas.
Dari 100 orang yang disurvei, 61 persen di antaranya mengaku menggunakan lebih dari 4 popok per hari. Dan 36 persen menggunakan 2-4 popok sekali pakai /hari. Sisanya tidak pernah menggunakan popok.
Kendati dalam survei itu pula, 89 persen responden menyatakan selalu membuang limbah
popok ke tempat sampah. Akan tetapi, setelah dicermati selama investigasi dan evakuasi sampah popok di Sungai Brantas, tempat sampah yang dimaksud masih berada di tepi sungai.
“Tetap saja rawan pencemaran. Apalahi kalau buangnya (popok) meleset atau saat terjadi banjir, limbah popok sekali pakai akan tetap hanyut ke sungai,” ujar Prigi.
Sementara berdasarkan data BPS Jatim (2013), populasi anak di bawah usia 5 tahun adalah sebesar 1,592,525 anak yang merupakan pasar. potensial bagi produk popok sekali pakai Jatim.
Dengan asumsi 42, 16 persen populasi penduduk Jatim tinggal di wilayah sungai (WS) Brantas (BBWS Brantas, 2011) dan penggunaan minimal 4 popok per hari, maka setidaknya ada 2,685,634 popok bekas pakai setiap harinya. “Bila dikalikan 365 hari dan berat diaper bekas pakai 10 gr/popok maka diaper bekas pakai di WS Brantas sebesar 9,802 ton,” paparnya. (im)