Lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi harus menjawab banyak pertanyaan dari Anggota Komisi III dalam rapat dengar pendapat di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2019).


IM.com – Komisi Pemberantasan Korupsi mengakui ada saja oknum yang memanfaatkan hubungan dengan penyelidik maupun penyidik di internalnya untuk melakukan penipuan. Berbekal secuil informasi dalam penyelidikan dan penyidikan, oknum tersebut berani ‘menjual’ nama KPK untuk memeras pejabat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), seperti yang terjadi di Mojokerto dan Jepara.

Kebanyakan, oknum yang melakukan penipuan dengan mengatasnamakan pegawai atau penyidik KPK untuk memeras pejabat memiliki relasi dengan penyelidik maupun penyidik KPK. Remahan informasi yang diduga berasal dari relasi di internal KPK itu yang kemudian dimanfaatkan oknum mengatasnamakan KPK untuk memeras pejabat dan kepala daerah.

Menurut KPK, modus penipuan ini juga yang terjadi ketika penyidik sedang menangani kasus korupsi di Mojokerto dan Bupati Jepara.

“Mengaku pegawai KPK dan memeras SKPD Mojokerto. Kerugian korban sampai Rp 900 juta,” tutur Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, Senin (1/7/2019). Menurut Saut, nilai pemerasan terhadap Bupati Jepara bahkan tergolong fantastis mencapai Rp 5,5 miliar.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang saat menjawab pertanyaan keempat dari Anggota Komisi III. Dalam pertanyaan poin keempat, anggota Komisi Hukum mempertanyakan tentang kebocoran informasi penyelidikan maupun penyidikan yang ditengarai dengan kebijakan penempatan dan rekrutmen penyidik.

Selain modus tadi, Saut menyebutkan, ada juga oknum yang menggunakan nomor telepon mirip dengan kepunyaan KPK. Nomor telepon bagian umum KPK adalah +622125578300 dan 08558575575, 0811959575 untuk layanan pengaduan melalui SMS.

KPK menyatakan sejatinya sudah ada mekanisme pencegahan yang dilakukan untuk mengantisipasi kebocoran informasi ini. Saut menegaskan ada dua hal yang dilakukan KPK yakni dengan melakukan pemeriksaan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan menggunakan aplikasi thin client serta menerapkan sistem manajemen keamanan melalui Peraturan KPK Nomor 4 Tahun 2018.

Namun berkaca pada kronologi dan modus bocornya informasi melalui hubungan relasi dengan internal KPK tadi, potensi celah kebocoran boleh jadi terletak pada integritas dan profesionalisme jajaran pegwai sampai penyidik. Jika demikian, maka persoalannya kembali pada proses rekrutmen dan penempatan pegawai hingga penyidik KPK seperti yang disoal anggota Komisi III tadi.

Kebocoran informasi penanganan kasus korupsi di tingkat penyelidikan sampai penyidikan di KPK memang rentan terjadi dan bersumber dari internal penyidik. Pasalnya, sampai sekarang KPK masih banyak mengandalkan penyelidik maupun penyidik yang direkrut dari isntitusi penegak hukum lain yakni kepolisian dan kejaksaan.

Setiap tim atau individu penyidik seolah masih menyimpan kepentingan pribadi dan institusi asalnya. Tetapi bagaimanapun, rekrutmen penyidik dari kepolisian dan kejaksaan sudah sesuai dengan Pasal 13 UU KPK.

“Terkait dengan gejolak internal, jujur saja yang namanya monoloyalitas ini sangat sulit untuk dilakukan, karena penyidik KPK ini juga berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan. Kalau kami tiba tiba merombak aturanya, maka kami bisa kehilangan pegawai,” tandas Saut.

Karena itu, Saut mengusulkan agar DPR dan pemerintah membuat aturan baru untuk menciptakan hubungan yang sinergis di antara para penyidik KPK. Situasi tersebut tentu akan membawa dampak positif pada proses penanganan kasus korupsi di KPK l.

“Kami berharap agar bisa diciptakan aturan baru agar pelaksanaan tugas ini bisa terharmonisasi,” ujar Saut.

Paparan KPK dalam RDP dengan Komisi III DPR RI terkait kasus pemerasan oleh oknum mengatasnamakan KPK terhdap pejabat SKPD di Mojokerto dan Bupati Jepara yang dikaitkan dengan kebocoran informasi penanganan kasus di lembaga antirasuah.

Anggota Komisi III M Nasir Djamil sempat mempertanyakan cara KPK menyelesaikan masalah gejolak di internal pegawai sampai penyidik KPK. Ia mengaku sering mendengar isu yang berkembang bahwa seolah terjadi konflik antara penyidik di kepolisian dengan penyidik internal.

“Bagaimana upaya yg sudah dilakukan KPK dalam rangka melakukan konsolidasi internal. Sehingga masyarakat bisa melihat bahwa pimpinan KPK dapat mengatasi konflik internalnya yang ada,” kata anggota dewan dari Fraksi PKS ini.

Nasir pun meminta agar kisruh di internal KPK menjadi catatan penting yang harus mendapat perhatian khusus dari pimpinan lembaga antirasuah. Terutama dalam hal pengawasan internal, KPK berwenang menjatuhkan sanksi tegas kepada pegawai yang terbukti tidak berintegritas.

Sebagiaman tercantum dalam Pasal 25 UU 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dipertegask pada pasal 45 ayat 1, bahwa KPK berwenang mengangkat dan memberhentikan pegawai (termasuk penyidik).

Biro Khusus Pengamanan Informasi

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengusulkan biro khusu untuk pengamanan pimpinan KPK dan data informasi.  Menurutnya, biro ini diperlukan untuk pengamanan data informasi dan pimpinan KPK. 

“Sebetulnya KPK itu tidak hanya mengamankan personel, tapi juga mengamankan informasi, kita sering.. teman-teman taulah informasi KPK itu ada yang bocor keluar, itu juga yang menjadi perhatian pimpinan,” kata Alexander.

Karena itu, lanjut Alexander, kajian tersebut akan menentukan sejauh mana kemungkinan-kemungkinan untuk membentuk biro baru setingkat eselon dua tersebut. Kendati dalam UU KPK sendiri struktur organisasi sudah ditetapkan dan ditentukan. Namun, hal itu dirasa belum cukup.

“Tetapi kalau kita melihat dari sisi urgensinya, rasa-rasanya untuk pengamanan kalau hanya setingkat kepala bagian kita masih kurang cukup. Nah kita ingin meningkatkan setingkat direktorat,” paparnya. (im)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini