IM.com – Tahapan pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) serentak di Kabupaten Mojokerto, mulai dikeluhan. Utamanya pada mekanisme seleksi tambahan bagi bakal calon kepala desa yang harus dirivisi termasuk aturan domisili bakal calon kepala desa
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Mojokerto, Drs. Ardi Sepdianto, M.Si membeberkan kepada inilahmojokerto.com menyikapi keluhan tersebut.
Mekanisme seleksi tambahan itu ada tiga unsur penilaian, yaitu pengalaman kerja di lembaga pemerintah, kualifikasi pendidikan, dan usia calon. Hal itu diberlakukan bilamana ada lebih dari 5 calon yang mendaftar pada Pilkades di suatu desa.
“Banyak permasalahan yang sudah dikeluhkan ke DPMD. Khususnya yang menyoal mekanisme seleksi tambahan pada kategori pengalaman kerja di lembaga pemerintah. Aturannya sudah jelas, bila point itu dihitung berdasar nilai waktu atau lamanya menjabat. Bukan berdasar kedudukannya saat menjabat. Kita tak bisa berbuat banyak karena hal itu sudah diperundangkan,” ungkap Ardi
Menurutnya banyak masukan, untuk kategori pengalaman bekerja di lembaga pemerintahan yang menghendaki nilai skornya disesuaikan dengan jabatan yang bersangkutan. Namun, karena dihitung berdasarkan waktu, hal itu jelas tidak bisa dilakukan.
“Semua kita samakan. Baik jabatan Kades, BPD, LPM atau lembaga pemerintahan lainnya. Skor nilai tetap dihitung berdasarkan lamanya menjabat. Aturan itu sudah jelas tertuang di Perbup No.83 Tahun 2018 di Pasal 15,” tegasnya.
Lebih jauh Ardi menyatakan, mengingat semua sudah menjadi produk hukum, pihak DPMD tidak mungkin melakukan perubahan mendadak. Waktunya juga tidak mencukupi. Apalagi pelaksanaan Pilkades sudah sangat dekat.
Tetapi pihak DPMD tetap menampung masukan itu dan akan dijadikan bahan evaluasi untuk kedepannya merumuskan. Memang, masing-masing wilayah kabupaten ada perbedaan dalam aturan Pilkadesnya.
Selain mekanisme seleksi tambahan, banyak pihak yang mengeluhkan luasnya cakupan domisili calon kepala desa. Pada Perbup No. 83 Tahun 2018 Pasal 1 ayat (15) disebutkan bila bakal calon kepala desa adalah warga negara Indonesia.
Aturan itu dinilai oleh berbagai pihak dapat memunculkan masalah dilingkup desa. Sebab, warga masyarakat di luar desa bahkan di luar provinsi pun bisa mendaftar sebagai calon kepala desa.
Menyikapi hal tersebut, Ardi mengingatkan panitia Pilkades tidak menambah batasan-batasan pada tata tertib pilkades, utamanya pada aturan domisili dan lamanya tinggal di desa yang bersangkutan.
Sebab, hal itu jelas melanggar aturan dan perundang-undangan. Untuk diketahui, bila tanggal 20 Juli 2019 adalah batas terakhir penyerahan naskah tata tertib Pilkades kepada kecamatan setempat.
“Ada lagi yang menyiasati di tatib itu. Mereka mencantumkan syarat bila masyarakat yang mencalonkan Kades disyaratkan lamanya tinggal di desa. Hal itu akan bertentangan dengan pasal yang sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” jelasnya.
“MK kan sudah mencabut pasal tentang syarat penduduk setempat. Sebab yang boleh daftar Kades itu warga NKRI. Bila ada panitia Pilkades membuat syarat seperti itu, jelas melanggar aturan perundang-undangan,” tandasnya. (use/uyo)