Gunungan sampah impor dan limbah industri bercampur plastik yang dibuang ke Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Mojokerto. Foto: Martin

IM.com – Permasalahan sampah dan limbah impor akhirnya menjadi perhatian serius Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Presiden menegaskan harus ada regulasi tegas dan cermat untuk mengendalikan masuknya sampah dan limbah -khususnya berbahan plastik- ke Indonesia.

Komitmen Presiden Jokowi itu ditunjukkan melalui rapat terbatas (ratas) tentang penanganan impor sampah dan limbah yang digelar di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa kemarin (27/8/2019). Jokowi menyampaikan, ada tiga langkah yang harus dilakukan kementerian dan lembaga terkait untuk mengatasi persoalan sampah impor.

Pertama, memaksimalkan pengelolaan sampah dari dalam negeri terlebih dahulu untuk kebutuhan bahan baku industri dalam negeri. Kedua, mempercepat penyelesaian regulasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki tata kelola impor sampah dan limbah.

“Ketiga aturan itu harus dijalankan serius dengan pengawasan seketat-ketatnya terhadap impor sampah dan limbah yang masuk ke Indonesia,” tegas Presiden Jokowi.

Menurutnya permasalahan impor sampah dan limbah dari negara maju tak hanya terjadi di Indonesia. (Baca juga: Pabrik Kertas di Mojokerto Gunakan Bahan Baku Sampah Impor, tapi Ipal Buruk).

Tindak Tegas Importir Nakal

Jokowi menginstruksikan instansi yang berwenang agar mengambil langkah tegas apabila ditemukan adanya pelanggaran impor sampah dan limbah di lapangan. Salah satu pelanggaran yang sering ditemukan dari pihak importir adalah adanya kandungan plastik serta bahan beracun dan berbahaya (B3) yang diselundupkan dalam muatan sampah impor.

“Impor sampah terutama kertas dan plastik bisa memenuhi kebutuhan baku industri. Tapi juga bisa merusak lingkungan dan mengancam kesehatan jika sampah dan limbah itu terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3),” tandas Jokowi.

Untuk itu, Jokowi kembali mengingatkan agar lebih berhati-hati dalam menangani impor sampah ini. Presiden meminta seluruh instansi terkait berkoordinasi membahas permasalahan ini secara komprehensif dan tidak merugikan masyarakat. (Baca juga: Sampah Impor Australia Banyak Ditimbun di Desa Bangun-Mojokerto).

“Saya rasa koordinasi di antara menteri-menteri terkait sangat diperlukan. Jangan sampai terjadi perbedaan pandangan yang menghambat penanganan impor sampah dan limbah,” imbuhnya.

Berdasarkan data Kementerian KLHK, hingga Agustus 2019, Indonesia sudah mereekspor lebih dari 400 kontainer sampah yang berisikan limbah B3 ke negara asal. Kontaminan tersebut antara lain bekas infus, pampers, ampul suntik, bungkus obat, hingga aki bekas. Angka ini belum termasuk 1.200 kontainer yang masih dalam proses pemeriksaan.

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya usai rapat terbatas dengan Presiden Jokowi kemarin, mengatakan, pemerintah tengah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun. Pihaknya secara tegas akan mempertahanakan tingkat pengotor impor plastik di angka 2 persen dan ke depan bisa menjadi 0 persen.

Tingkat pengotor yang diizinkan bagi importir memang kerap dianggap menjadi celah untuk memasukkan sampah plastik yang tidak dapat didaur ulang ke Indonesia. “Saya berharap 0 persen ini bisa sebelum 2021,” ujar Siti Nurbaya.

Kendati, pencapaian target ini cukup berat. Mengingat angka tersebut berbanding terbalik dengan keinginan industri plastik yang menghendaki batas kontaminan naik menjadi 5 persen.

Sebelumnya kepada DW Indonesia, Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi, menilai upaya memperketat izin dan pengawasan impor sampah dan limbah tidak akan menyelesaikan masalah. Ia berpendapat, seharusnya pemerintah memperjelas definisi sampah dan limbah di dalam peraturan agar menjadi dasar upaya pengendalian.

“Karena di dalam UU pengelolaan sampah kita nomor 18 tahun 2008, disebutkan bahwa setiap pihak tidak dapat membawa masuk atau mengimpor sampah ke dalam wilayah Indonesia, tandasnya.

Sedangkan pengertian sampah menurut Greenpeace adalah sisa kegiatan atau konsumsi masyarakat. Berbeda dengan limbah yang merupakan sisa kegiatan produksi. Atha berpendapat bahwa Indonesia semestinya menutup keran impor sampah dan limbah seperti halnya yang dilakukan Cina, agar tidak ada lagi ruang bagi para importir untuk mengirimkan sampahnya masuk ke Indonesia dengan dalih apa pun.

Karena menurutnya sebagian besar sampah dan limbah yang masuk tersebut merupakan jenis sampah yang tidak dapat didaur ulang. (Baca: Per Hari, 75 Ton Sampah Plastik Impor Dibuang ke Desa Bangun, 60 Persen Tak Bisa Didaur Ulang).

“Sebagian besar tidak dapat didaur ulang, tentu berpotensi menjadi timbunan atau bahkan dibakar secara bebas,” cetus Atha. (im)

140

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini