IM.com – Badan Pengawas Pemilu RI memberi atensi khusus pada pelaksanaan Pilkada serentak 2020 di Kabupaten Mojokerto. Bawaslu menilai, jenis pelanggaran yang rawan terjadi di Pilkada Kabupaten Mojokerto adalah mobilisasi massa aparatur sipil negara (ASN) oleh calon petahana maupun kandidat dari unsur ASN itu sendiri.
Indikasi kerawanan yang dipetakan Bawaslu ini bukan tidak berdasar. Hal itu berkaca pada tensi politik dua pelaksanaan pilkada Kabupaten Mojokerto sebelumnya (tahun 2010 dan 2015) yang memanas karena dugaan mobilisasi ASN.
“Kita tahu dalam dua Pilkada di Kabupaten Mojokerto sebelumnya kan cenderung menghangat,” kata Anggota Bawaslu RI M Afifuddin di Kantor Bawaslu Kabupaten Mojokerto, Kamis (16/1/2020).
Komisioner Bawaslu RI berkunjung ke Kantor Bawaslu Kabupaten Mojokerto, Jalan Raya Bangsal-Mojokerto untuk melakukan supervisi pencegahan dan pengawasan potensi pelanggaran kampanye pilkada. Menurut Afif, setiap daerah memiliki kerawanan pilkada yang khas.
“Untuk Kabupaten Mojokerto ya itu, potensi pelanggaran mobilisasi ASN. Ini yang harus kita antisipasi,” ujar Komisioner Bawaslu RI Bidang Pengawasan dan Sosialisasi.
Menurut Afif, potensi pelanggaran berkaitan dengan mobilisasi ASN dalam kampanye kian besar menyusul dilantiknya Plt Bupati Mojokerto Pungkasiadi sebagai Bupati, Selasa lalu (14/1/2020). Pungkasiadi diketahui berpotensi maju sebagai calon petahana di Pilkada serentak 2020.
“Saya sudah meminta Bawaslu Kabupaten Mojokerto untuk berkoordinasi melakukan pencegahan pasca pelantikan bupati. Karena dikhawatirkan akan terjadi mutasi pejabat yang dilakukan bupati atau larangan lain yang ditabrak, jadi yang penting kita sudah memberi peringatan dini sebagai pencegahan,” tutur Afif.
Bukan hanya Mojokerto, Bawaslu RI juga telah menyurati 270 kepala daerah tingkat kabupaten/kota maupun provinsi yang punya hajatan pilkada tahun 2020 ini agar tidak melakukan mutasi pejabat. Karena sesuai UU Pilkada Pasal 71 Ayat 2, kepala daerah yang akan menggelar pilkada tidak boleh melakukan mutasi pejabat setelah 8 Januari 2020 atau enam bulan sebelum masa penetapan pasangan calon (paslon).
“Setelah peringatan itu, ada 222 daerah yang memaksakan mutasi jabatan di tanggal 7 Januari,” ungkap Afif.
Ketua Bawaslu Kabupaten Mojokerto Aris Fahrudin Asy’at menguatkan pernyataan Afifuddin. Aris mengatakan, pihaknya sudah berkirim surat ke Pungkasiadi sebelum dilantik sebagai Bupati.
Isi surat itu menghimbau kepala daerah untuk memberi warning kepada seluruh ASN di lingkungan Pemkab Mojokerto agar tidak terlibat kampanye atau aksi dukung dukung-mendukung paslon di Pilkada.
“Ini sebagai upaya pencegahan. Memang ada ketentuan untuk ASN tidak boleh terlibat atau perbuatan yang mendekati dukungan paslon di pilkada,” jelasnya.
Namun menurut Aris, pasca pelantikan Pungkasiadi sebagai Bupati, tantangan baru akan muncul, yakni potensi terjadinya mutasi jabatan. Aris menegaskan, pelanggaran mutasi jabatan ini bisa berpotensi mendatangkan sanksi yang berat bagi kepala daerah.
“Boleh ada mutasi kalau mendapat izin dari Mendagri. Kalau sampai dilanggar ya bisa sampai kena pidana. Makanya, kami akan mengawasi jangan sampai terjadi (mutasi),” tandasnya.
Selain kepala daerah yang berpeluang menjadi calon petahana, Bawaslu Kabupaten Mojokerto juga mengirimkan surat yang sama ke seluruh pejabat organisasi perangkat daerah. Tujuannya sama, untuk mengingatkan mereka dan seluruh jajarannya agar tidak terlibat dalam kampanye.
“Semua pejabat yang memiliki jajaran ASN di lembaganya kami surati. Memang belum ditemukan indikasi pelanggaran, tapi ini sebagai upaya pencegahan karena potensi itu selalu ada,” cetus Aris.
Diketahui, selain Bupati Pungkasiadi, ada juga unsur dari ASN yang digadang running sebagai calon bupati yakni Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Yoko Priyono. Bakal calon yang muncul adalah istri mantan Bupati Mustofa Kamal Pasa, Ikfina Fahmawati serta dua bakal calon indepenen Edi Wiliang dan Defri Ervanda Krismianto.
Dari sejumlah nama itu, calon incumbent dan dari unsur ASN yang paling disorot Bawaslu. Aris mengatakan, mereka akan mendapat perlakukan pengawasan khusus dan ketat yang berbeda dengan kandidat lain.
“Bukan karena diskriminasi, tapi memang calon petahana dan pejabat ini yang paling berpotensi melakukan pelanggaran. Nah, potensi pelanggaran yang paling potensial di Mojokerto kan mobilisasi ASN, berdasar pengalaman pilkada tahun 2010 dan 2015 lalu. Jadi ya wajar kalau akan mendapat pengawasan khusus,” demikian Aris. (im)