Ilustrasi pungli PTSL.
Ilustrasi pungli PTSL.

IM.com – Praktik pungutan liar (pungli) program pemerintah pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) atau sertifikat tanah gratis di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, diduga dilakukan secara terstruktur mulai tingkat desa hingga kecamatan.

PTSL dari Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, merupakan program penyertifikatan tanah gratis dari pemerintah bagi masyarakat yang objek tanahnya belum didaftarkan dalam suatu wilayah desa atau kelurahan, agar memiliki kepastian hukum atas kepemilikan tanah.

Sebagai payung hukum untuk mengantisipasi oknum tidak bertanggungjawab melakukan pungli dalam program PTSL. Pemerintah membuat aturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 2017 tentang PTSL dan Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 2018.

Dalam peraturan tersebut biaya untuk melakukan penerbitan sertifikat hak milik melalui Program PTSL tidak boleh melebihi Rp150 ribu.

Akan tetapi kenyataan di lapangan aturan itu sering diabaikan oleh pemerintah desa. Mereka bahkan memungut biaya di atas peraturan.

Seperti mengambil sampling di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Pungli PTSL oleh oknum panitia di Desa Sentonorejo, berkisar Rp400 ribu hingga Rp1,4 juta per bidang untuk mengurus sampai sertifikat selesai.

Selain Sentonorejo, pungli PTSL juga terjadi di wilayah Desa/Kecamatan Punging, Kabupaten Mojokerto dan sudah dilaporkan ke Kejaksaan Negeri.

Panitia PTSL Desa Punging dilaporkan atas dugaan pungli. Karena menarik biaya pengurusan sertifikat tanah gratis sebesar Rp340 ribu hingga Rp2 juta.

Menurut praktisi hukum, Solikin Rusli banyaknya praktik pungli pada program PTSL menunjukkan tingkat korupsi masih tinggi.

Karena, praktik kotor tersebut tidak sejalan dengan tujuan pemerintah menggulirkan program sertifikat tanah gratis, agar tidak ada lagi sengketa kepemilikan tanah.

“Jadi pemerintah desa atau panitia kalau seperti ini (pungli PTSL), sejatinya tidak mendukung program pemerintah dan itu korupsi,” tegasnya, Senin (20/5/2024).

Indikasi pungli PTSL menurut Solikin, bak jamur saat musim hujan dan praktik ini diduga melibatkan unsur pemerintahan mulai tingkat desa hingga kecamatan.

“Kalau dirunut, panitia menerapkan hal itu (pungutan PTSL di atas ketentuan-red) atas sepengetahuan kepala desa. Begitu juga kades juga atas sepengetahuan atasanya yakni pihak kecamatan,” ungkapnya.

Fungsi Camat sebagai pembina pemerintah desa, seharusnya dikatakan Solikin mengarahkan panitai dan pemerintah desa mematuhi ketentuan biaya PTSL dari pemerintah pusat.

“Jadi jangan pura-pura gak tau, seharusnya mencegah (pungli PTSL-red) bukan membiarkannya,” tegas dia.

Ia pun berharap penegah hukum, bisa melakukan pengusutan dugaan pungli PTSL secara tuntas dari hulu ke hilir.

“Kalau mau diusut yang kena pidana jangan hanya panitia PTSL saja. Karena, yang namanya korupsi, atau kejahatan tidak hanya pelaku tapi yang membiarkan praktik menyimpang juga harus diusut,” tutur Solikin memungkasi.

Sementara itu, Ketua LSM Generasi Muda Indonesia Cerdas Anti Korupsi (Gmicak), Supriyanto mengatakan hal senada jika praktik pungutan liar (pungli) PTSL termasuk tindakan korupsi.

Hukum pidana di Indonesia diungkapkan pria yang akrab disapa Ilyas, mengatur tentang penyimpangan yang terjadi dalam ketentuan agraria, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

“Berdasarkan Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2018, mengacu SKB tiga menteri biaya PTSL ditetapkan sebesar Rp150 ribu,” kata Ilyas.

Biaya PTSL sebesar Rp150 ribu itu digunakan untuk penyiapan dokumen, pengadaan patok, dan operasional petugas kelurahan atau desa.

“Jadi kalau ada pungutan di atas ketentuan, silakan laporkan ke kepolisian atau kejaksaan setempat,” pungkasnya. (rf/ima) 

 

163

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini