IM.com – Masyarakat Jawa masih memegang teguh sejumlah ritual atau tradisi kuno. Salah satunya membersihkan pusaka atau jamasan di malam 1 suro atau muharam. Selain itu ada makna yang terselip dari tradisi jamasan tersebut.
Kata suro merupakan sebutan untuk bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut berasal dari penggalan bahasa Arab yakni asyura yang berarti tanggal 10 di bulan Muharram.
Berdasarkan penanggalan Jawa, 1 Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Kedua momen tersebut mempunyai makna yang berkaitan dengan spiritual. Dalam tradisi Jawa, suro dianggap sebagai momen paling tepat untuk introspeksi diri untuk setahun perjalanan hidup.
Puluhan penggiat budaya di Mojokerto memperingati malam 1 suro dengan melakulan ritual di dua tempat yaitu di Candi Brahu, Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto dengan melakukan ritual doa-doa lintas agama dan di lokasi kedua yaitu Punden Mbah Sumber Sari di Dusun Jati Sumber, Desa Watesumpak, Trowulan, Kabupaten Mojokerto untuk melakulan ritual jamasan atau biasa di sebut siraman. Ritual tetsebut di mulai dari pukul 18.00 WIB hingga selesai pada pukul 00.00 WIB.
Salah satu panitia, Saiful Mustofa (36)
mengatakan, sudah dua tahun ini penggiat budaya di Mojokerto melakukan ritual di malam 1 Suro, untuk melakukan ritual doa-doa di Candi Brahu. Mengingat Candi Brahu sendiri yang tertua dan seblum era kerajaan Majapahit.

“Ya kita mengambil tempat untuk ritual doa-doa di Candi Brahu, dikarenakan Candi Brahu ini tertua dan sebelum kerajaan Majapahit ada candi ini sudah ada, sesudah melakukan ritual doa-doa dan tumpengan di Candi Brahu, kita langsung melakukan jamasan atau siraman yaitu di lokasi kedua tepatnya di punden Mbah Sumber Sari,” ucap Saiful.
Ritual jamasan atau siraman yang di lakukan penggiat budaya di Punden Mbah Sumber Sari ini tidak untuk menjamas pusaka atau biasa disebut keris dan banyak jenis lainnya.
Melainkan ritual malam 1 suro yang dilakukan penggiat budaya saat ini jamasan terhadap sekujur tubuhnya pada dirinya masing-masing.
Sebelum dilakukan jamasan atau siraman yaitu melakukan ritual-ritual doa kembali di lokasi jamasan, sesudah itu melakukan siraman pembasahan di seluruh tubuh dan membawa bunga di pancuran Yoni.
“Jadi sebenarnya tidak ada perbedaan jamasan pusaka atau jamasan di manusia, intinya sama-sama menghargai. Tujuannya kan sama jamasan atau siraman untuk membersikan diri, maknanya kita ingin bersih dan kita mengembalikan diri dan bersyukur karena kita diberikam kesempatan dan diberikan kehidupan oleh sang pencipta. Sama halnya dengan jamasan pusaka,” kata Saiful.
Ia berharap agar budaya tetap dilestarikan, dan budaya hidup dengan kearifannya. Jangan sampai budaya dibuat untuk event terkecuali untuk kesenian.
“Kita harus mengkaca dari bali, banyak tradisi adat di sana salah satunya ngaben. Ngaben ini acara adat, apakah di suplay dari pemerintah ya pasti tidak. Dari situ mereka bisa bertahan dan dari situ merekan bisa menunjukan kesakralan itu sendiri,” tandas Saiful memungkasi. (rik)