Foto bersama peserta Rakerda PHRI Jatim ke-17 di Grand Whiz Hotel Trawas, Kamis, 7 Agustus 2025.

IM.com – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur secara resmi memutuskan untuk mengajukan judicial review terhadap aturan pemungutan royalti atas pemutaran musik dan lagu di ruang publik, seperti hotel dan restoran.

Keputusan ini diambil dalam Rapat Kerja Daerah (Rakerda) PHRI Jatim ke-17 yang berlangsung di Grand Whiz Hotel, Mojokerto, pada 16–17 Agustus 2025.

‎Langkah hukum tersebut menyoroti keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang selama ini menarik royalti dari pelaku usaha hotel dan restoran. Aturan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Namun bagi pelaku usaha, penerapan aturan tersebut dianggap belum proporsional.

‎”Besaran royalti ditetapkan Rp 60.000 per kursi per tahun. Ini sangat memberatkan, apalagi luas area juga dihitung. Bukannya kami menolak membayar, tapi perlu ada kejelasan parameter dan mekanismenya,” ujar Ketua PHRI Jatim, Dwi Cahyono pada inilahmojokerto.com.

Ia bahkan menyatakan bahwa pihaknya siap mengundang langsung LMKN untuk berdialog terbuka soal kejelasan dasar pungutan tersebut.

‎ANJLOK 50 PERSEN
‎Rakerda yang mengusung tema Merajut Peluang & Strategi Era Efisiensi Anggaran ini turut menyoroti anjloknya tingkat hunian hotel, khususnya dari segmen instansi pemerintah. Menurut Dwi Cahyono, okupansi dari sektor government turun drastis hingga 50 persen akibat kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan berbagai instansi.

‎”Ketika okupansi turun 50 persen maka dampaknya juga berantai. Supplier harian seperti penyedia sayur-mayur, telur dan kebutuhan pokok lainnya ikut terimbas,” tambah Dwi. PHRI menilai bahwa perlu diversifikasi pasar agar industri perhotelan tidak sepenuhnya bergantung pada anggaran belanja negara.

‎Kondisi ini menambah panjang deretan tantangan yang dihadapi industri hotel dan restoran, setelah sebelumnya dihantam pandemi Covid-19 selama dua tahun dan belum sepenuhnya pulih dari dampak geopolitik global yang tak menentu.

‎Rakerda ke-17 ini dihadiri sekitar 200 peserta dari 37 Badan Pimpinan Cabang (BPC) se-Jawa Timur. Hanya BPC Sumenep yang berhalangan hadir. Ketua pelaksana acara, Satuin, yang juga menjabat Ketua BPC PHRI Mojokerto, menyebut persiapan acara hanya membutuhkan waktu satu bulan berkat soliditas antar anggota.

‎Hadir pula dalam pembukaan acara Bupati Mojokerto, Muhammad Al Barra, serta Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekdaprov Jatim, Joko Irianto, yang mewakili Gubernur Jawa Timur.

‎Dalam paparannya, Joko Irianto menyampaikan bahwa sektor pariwisata di Jawa Timur memiliki potensi besar dengan 16.568 unit usaha wisata dan 110.571 tenaga kerja. Di antaranya, 43% merupakan usaha jasa makanan dan minuman, serta 13,8% adalah usaha penyediaan akomodasi dengan 3.456 unit usaha.

‎Jumlah hotel berbintang di Jawa Timur saat ini tercatat 471 unit, yang mempekerjakan 14.808 orang. Sementara hotel non-bintang berjumlah 854 unit dengan 8.512 tenaga kerja.

‎Dengan latar belakang data tersebut, PHRI berharap bahwa pemerintah dapat mempertimbangkan kembali penerapan regulasi royalti musik agar tidak membebani pelaku usaha yang tengah berjuang pulih dari krisis berkepanjangan.

‎“Kami butuh keadilan regulasi, bukan hanya soal membayar atau tidak membayar. Tapi bagaimana aturan ini bisa proporsional, rasional dan mendorong iklim usaha yang sehat,” pungkas Dwi Cahyono. (kim)

55

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini