Ngedos. Tukang ngedos, proses perontokan padi.

IM.com – Secara definisi, panen raya bukan hanya perkara produktivitas melainkan skala kegiatan yang terkoordinasi, melibatkan kelompok tani, bahkan pemerintah daerah, demi menopang pasokan beras domestik.

‎Sebagai pembanding, sejumlah daerah pernah mencatat panen raya dengan luasan 23 hektare di Purwakarta, 81 hektare di Banyuasin, 108 hektare di Buol, 800 hektare di Sumatera Utara, hingga 14.000 hektare di Merauke. Bahkan, ada catatan spektakuler di Wonogiri yang mencapai 1 juta hektare.

‎Publik kembali dibuat bertanya-tanya dengan pemberitaan “panen raya” padi di Kota Mojokerto. Pasalnya, klaim panen raya dari lahan seluas 3 hektare dinilai tidak sebanding dengan makna panen raya yang umumnya merujuk pada panen besar-besaran dengan luasan puluhan hingga ribuan hektare.

‎Dengan demikian, menyebut panen di lahan 3 hektare sebagai “panen raya” dianggap lebih sebagai strategi publisitas ketimbang kenyataan lapangan.

‎Pada Selasa (16/9/2025), Wali Kota Mojokerto Ika Puspitasari menghadiri panen padi seluas 3 hektare di Kelurahan Gununggedangan, Kecamatan Magersari, Kota Mojokerto, Jawa Timur. Panen perdana ini merupakan bagian dari program Agrosolution Pupuk Kaltim. Acara tersebut disebut panen raya.

‎Ning Ita, sapaan akrab Wali Kota, mengklaim adanya peningkatan produktivitas 33 persen, dari rata-rata 6 ton per hektare sebelumnya menjadi 8 ton per hektare. “Harapan saya, setelah pendampingan berlanjut, kita bisa menyamai daerah lain yang panennya bisa 12 ton per hektare,” ujarnya.

‎Kepala DKPP Kota Mojokerto, Novi Rahardjo, menambahkan bahwa kebutuhan beras di kota ini sekitar 1.100 ton per bulan. Hingga Agustus 2025, stok beras tercatat 2.600 ton, sebagian besar dipenuhi dari pasar sekitar Mojokerto.

‎Dari pihak korporasi, Pupuk Kaltim menegaskan program Agrosolution tidak sekadar memberi pupuk tetapi juga pendampingan mulai dari penanaman hingga panen.

‎Sawah Terus Menyusut

‎Fakta di balik gencarnya publisitas panen padi adalah realitas sempitnya lahan sawah di Kota Mojokerto. Sebagai kota terkecil di Jawa Timur dengan luas hanya 16,47 km², Mojokerto lebih banyak terdiri atas lahan non-sawah seperti lapangan dan semak belukar.

‎Data terbaru menyebut, luas sawah yang dilindungi (LSD) dikepras hingga 124 hektare, dari semula 354 hektare kini hanya tersisa 217 hektare. Pengurangan ini tertuang dalam Raperda Revisi RTRW Kota Mojokerto 2033–2043 seiring komitmen investasi yang masuk.

‎Alih fungsi lahan ini juga menegaskan bahwa sektor pertanian di Mojokerto kian terdesak oleh kebutuhan perumahan, industri, dan investasi lain.

‎Meski pemkot menyisakan 39 hektare untuk kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B), angka itu relatif kecil dibanding kebutuhan pangan jangka panjang.

‎Fenomena cuaca juga turut memengaruhi. Tahun ini, anomali iklim menyebabkan musim kemarau justru disertai hujan deras sporadis. Petani yang semula menanam jagung memanfaatkan limpahan air untuk menanam padi.

‎“Sekarang ini sedang musim kemarau basah,” tutur Miskan, penjual kerupuk asal Desa Balongcok, Kecamatan Balongsari. Ungkapan tersebut menggambarkan ironi, pada puncak kemarau, hujan deras justru rutin mengguyur.

‎Sejumlah pengamat menilai, menyebut panen 3 hektare sebagai panen raya adalah pengaburan makna. Alih-alih fokus pada substansi pemenuhan pangan berkelanjutan, perhatian publik seolah diarahkan pada pencitraan keberhasilan sesaat.

‎Dalam konteks berkurangnya luas sawah di Mojokerto, klaim panen raya justru dinilai kontradiktif. Sementara sawah dikepras demi investasi, panen skala kecil didengungkan dengan publisitas besar.

‎Kritik ini mengingatkan kembali bahwa ketahanan pangan bukan hanya perkara teknologi pupuk atau peningkatan produktivitas, melainkan juga soal keberpihakan pada perlindungan lahan pertanian. ‎(ima/kim)

8

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini