IM.com – Lebih dari sekadar angka, perceraian kini menampilkan dimensi sosial baru. Narasi “bangga jadi janda” muncul dari pengalaman perempuan yang merasa lebih merdeka setelah berpisah.
Perceraian di Jawa Timur kian menampakkan fenomena baru. Bukan sekadar angka statistik, melainkan juga tren sosial yang memantik diskusi publik. Salah satunya muncul di Ponorogo, di mana perempuan yang baru bercerai tidak lagi menutup diri dan bangga menyebut dirinya janda.
“Ketika akta cerai sudah terbit, mereka selfie sambil tertawa di depan kantor Pengadilan Agama. Seakan-akan ingin memproklamirkan diri sebagai janda. Mereka bilang, lebih baik jadi janda daripada punya suami yang tidak bekerja,” ungkap Maftuh Bustani, Humas Pengadilan Agama Kelas 1A Ponorogo di kanal YouTube.
Data mencatat, sepanjang 2025 terdapat 1.087 perkara perceraian yang diputus di Pengadilan Agama Ponorogo. Dari jumlah tersebut, cerai gugat mendominasi hingga 70 persen, sementara cerai talak hanya 30 persen. Fenomena ini menandakan bahwa perempuan lebih banyak mengambil inisiatif untuk mengakhiri rumah tangga dibanding laki-laki.
Pemicu Faktor Ekonomi
Dari kasus yang masuk, mayoritas dipicu oleh masalah ekonomi. Sebanyak 60 persen perceraian di Ponorogo disebabkan pihak suami tidak memiliki pekerjaan tetap dan gagal memenuhi kebutuhan rumah tangga secara ajeg.
“Meski faktor yang dikemukakan di persidangan seringkali berupa perselisihan yang terus-menerus, ketika didalami, akarnya tetap kembali pada persoalan ekonomi,” jelas Maftuh.
Selain itu, fenomena lain yang mencolok adalah 57 persen penggugat cerai berstatus TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Sebagian besar kasus mereka ditangani oleh kuasa hukum.
Fenomena ini ikut membuka peluang bisnis baru, di mana sejumlah pengacara secara terang-terangan mempromosikan diri di media sosial sebagai “spesialis perceraian”.
Fenomena serupa juga terjadi di kota besar. Di Pengadilan Agama Surabaya, sepanjang Januari–Maret 2025 tercatat 1.471 perkara perceraian. Dari jumlah tersebut, 1.056 perkara merupakan cerai gugat, sementara 415 perkara adalah cerai talak.
“Dari tahun ke tahun, angka cerai gugat memang selalu lebih tinggi dibanding cerai talak,” ujar Humas PA Surabaya, Tontowi.
Menariknya, angka perceraian di Surabaya periode ini menurun dibandingkan tahun lalu. Pada Januari–Maret 2024, tercatat 1.631 perkara, sehingga terdapat penurunan sekitar 160 kasus. “Penurunan ini bisa jadi karena semakin banyak pasangan yang mencoba menyelesaikan masalah secara internal atau melalui mediasi,” tambahnya.
Jawa Timur Tertinggi
Jika ditarik lebih luas, Jawa Timur menjadi salah satu provinsi dengan angka perceraian tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tercatat 79.293 kasus perceraian, menempatkan Jawa Timur di posisi kedua setelah Jawa Barat.
Beberapa faktor utama penyebab perceraian di Jawa Timur antara lain: Masalah ekonomi, terutama suami yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Judi online dan pinjaman daring, yang semakin marak menjadi pemicu keretakan rumah tangga. Perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga, yang kerap berujung pada gugatan cerai.
Secara nasional, jumlah perceraian pada 2024 mencapai 399.921 kasus. Tiga provinsi penyumbang terbesar adalah Jawa Barat (88.842 kasus), Jawa Timur (77.658 kasus), dan Jawa Tengah (64.569 kasus).
Fenomena ini menegaskan bahwa perceraian bukan hanya soal angka, tetapi juga representasi perubahan cara pandang masyarakat terhadap pernikahan, kesetaraan dan kemandirian perempuan. (kim)
32