IM.com — Di tengah maraknya jargon smart city yang digaungkan di berbagai daerah, pengusaha laboratorium sekaligus pemerhati kebudayaan Mojokerto, Gangsar Aji, menyampaikan kritik tajam namun edukatif mengenai kegagalan implementasi kota cerdas di Indonesia.
Menurutnya, konsep smart city sering direduksi atau disederhanakan hanya sebatas teknologi mahal, padahal esensi kota cerdas justru terletak pada data, kebijakan terukur dan efisiensi.
“Kota cerdas itu bukan teknologi mahal. Kota cerdas adalah kumpulan data, kebijakan yang presisi, dan sistem yang membuat segala sesuatu lebih murah dan efisien,” tegas Gangsar Aji dalam perbincangan di rumahnya, Perumahan Menanggal, Mojosari, Mojokerto, Senin, 8 Desember 2025, siang. Perbincangan menyangkut tata kelola masa depan Mojokerto.
Kegagalan Smart City
Gangsar tidak menutupi fakta bahwa sejak program Smart City dicanangkan pada 2017, tidak satu pun kota/kabupaten di Indonesia memenuhi standar kota cerdas yang sesungguhnya.
Penyebabnya, menurut dia, sangat mendasarr, antaral ain Poemangku kebijakan tidak memiliki, membaca, atau memahami acuan resmi kota cerdas, yakni SNI 37122:2019.
Program quick win banyak diisi secara sporadis, jauh dari inti kota cerdas yang berbasis ukuran dan indikator terverifikasi.
“Semuanya berjalan tanpa fondasi pengetauan yang benar. Mereka tidak memahami isi kota cerdas menurut acuan yang berlaku. Maka jalannya pembangunan jadi serampangan,” ungkapnya.
Menurut Gangsar, kondisi perkotaan saat ini makin kompleks. Urbanisasi pesat, tantangan lingkungan, tidak sinergi antar-SKPD, hingga rendahnya partisipasi warga. Kota pun kerap kesulitan bersaing dengan daerah lain.
Kota Cerdas Sebagai Jawaban
Kota cerdas menuntut kota bergerak cepat dan tepat dalam menyediakan keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ia mendorong tata kota yang terukur dan mudah dievaluasi. Efisien dalam pengelolaan sumber daya. Responsif terhadap bencana
Jyuga meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan membuka ruang kolaborasi masyarakat, swasta, dan pemerintah
Kota cerdas bahkan sejalan dengan visi Presiden RI yang mendorong kolaborasi lintas sektor serta pembangunan yang tidak hanya bergantung pada anggaran negara.
Gangsar menjelaskan bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki pedoman baku untuk membangun kota cerdas, yakni SNI 37122 yang memuat 80 alat ukur kota cerdas.
Kota atau kabupaten disebut cerdas hanya jika memenuhi seluruh indikator tersebut. Gagal satu indikator saja, menurut undang-undang, kota tidak layak disebut kota cerdas.
Untuk menjalankan kota cerdas secara benar, diperlukan perangkat hukum dan kelembagaan yang lengkap, yaitu: Perda dan Perwali/Perbup sebagai payung hukum. Dewan Kota Cerdas berisi OPD dan masyarakat
Perlu adanya manual mutu, pedoman makro pembangunan kota. SOP terintegrasi antar lembag. Instruksi kerja spesifik lembag serta form pelaporan untuk merekam seluruh proses.
Tanpa perangkat lengkap ini, kota cerdas hanya akan menjadi slogan kosong.
Tantangan Mojokerto
Dalam konteks Kabupaten Mojokerto, Gangsar Aji menilai bahwa langkah menuju kota cerdas harus dimulai dari kesadaran dan kemauan politik untuk menggunakan acuan yang benar, bukan sekadar mengikuti tren digitalisasi.
“Kota cerdas mendorong pembangunan yang terarah, mudah dikontrol, dan menghasilkan manfaat berkelanjutan. Tapi itu hanya mungkin jika dilakukan dengan benar, bukan lewat proyek-proyek sporadis,” katanya.
Gangsar menegaskan bahwa kota cerdas adalah sistem yang membuat hidup masyarakat makin murah, mudah, dan nyaman. Bukan sekadar pusat data canggih atau aplikasi digital yang tidak dipakai.
“Masyarakat, swasta, dan pemerintah semuanya adalah subjek. Pemerintah hanya menyediakan kebijakan yang mudah dievaluasi,” tutur Gangsar.
Dengan pendekatan yang tepat, Mojokerto bisa menjadi daerah yang paling siap mengadopsi kota cerdas berbasis SNI di Jawa Timur. (kim/anto)
40













































