
IM.com – Minimnya data resmi tentang aktivitas perempuan di panggung kesenian Surabaya semakin menegaskan satu hal, bahwa denyut seni di kota ini bertahan bukan karena fasilitas pemerintah, melainkan karena solidaritas antar aktivis seni.
Dalam ekosistem, kerap berjalan seperti “gerilya budaya”, para perempuan seniman terus berkarya melalui ruang-ruang alternatif yang tumbuh dari inisiatif komunitas.
Menurut Jil P. Kalaran, inisiator acara, kondisi ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. “Pendataan pemerintah hanya mencakup kegiatan yang mereka selenggarakan sendiri. Sementara aktivitas seniman perempuan jauh lebih luas dan tidak pernah tercatat. Mereka berjalan dengan caranya sendiri, bermodal kebersamaan,” ujarnya.
Sementara itu, Dindy Indiyati, aktivis sanggar Bengkel Muda Surabaya menilai, kesenian di Surabaya tumbuh justru dari ketahanan komunitasnya.

“Di kota yang keras dan serbacepat ini, seni perempuan menemukan ruangnya melalui kolaborasi dan solidaritas. Ini kekuatan yang tidak dimiliki oleh sistem birokrasi,” tuturnya.
Lembaga non-pemerintah pun tidak selalu mampu menjangkau semua aktivitas seni. Banyak komunitas lebih disibukkan dengan agenda internal.
Para seniman kerap dibutuhkan sebagai konstituen menjelang pemilihan pengurus lembaga kemudian kembali berjalan sendiri setelah pemilihan usai.
Situasi itulah yang membuat solidaritas menjadi mesin utama pergerakan seni perempuan di Surabaya. Kegiatan berlangsung sporadis, mengandalkan kesepakatan dan kemampuan masing-masing komunitas.
Ketika geliat seni tampak hidup, pemerintah kerap mengklaim sebagai hasil binaan, padahal atmosfer itu tumbuh dari akar rumput.
Filosofi Ibu
Kekuatan komunitas perempuan dalam kesenian kembali tampak pada gelaran Surabaya Hari Ini #06: My Mother, yang diselenggarakan Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS) pada hari Selasa, 9 Desember 2025 di Galeri Dewan Kesenian Surabaya, Kompleks Balai Pemuda Surabaya.
Acara dibagi dua sesi. Pada pukul 16.00–18.00 WIB, digelar Sarasehan “Omon-Omon Kesenian Surabaya” bersama pemateri Henri Nurcahyo dan Heti Palestina Yunani, yang akan membaca ulang dinamika kesenian Surabaya sepanjang tahun.
Kehidupan seni di Surabaya hari ini mengikuti denyut kota besar, riuh, cepat, dan pragmatis. Namun di balik gemuruh itu, ruang-ruang kreatif tetap tumbuh dari kerja kolektif warga dan komunitas.
Surabaya bukan kota yang dimanja fasilitas seni tetapi kota yang menghidupkan seni lewat kegigihan.
Pada pukul 19.00 WIB, acara berlanjut dengan panggung seni pertunjukan bertema My Mother, menghadirkan seluruh penampil perempuan yang membaca karya tentang ibu baik dalam bentuk puisi, esai, maupun surat reflektif.
Para penampil tersebut meliputi:
Wina Bojonegoro, Swandayani, Heti Palestina Yunani, Vanessa Helen Martinus, Pinky Saptandari, Lina Puryanti, Trinil Sri Brojo, Vika Wisnu, Wulansary, Nayera Ibrahim, dan tamu dari El Salvador Susi Romero.
FPKS menegaskan bahwa peringatan Hari Ibu bukan sekadar seremoni bunga dan ucapan, tetapi refleksi atas peran ibu sebagai sumber cahaya yang menuntun perjalanan hidup. Ibu bukan hanya sosok domestik, melainkan inspirasi, pelindung, ingatan, dan bahasa pertama yang kita pahami.
Melalui karya-karya personal tentang ibu, para penampil memperlihatkan bagaimana kasih perempuan membentuk kekuatan batin generasi berikutnya. Tradisi ini menjadi kontras sekaligus penyeimbang ritme Surabaya yang keras.
Di Indonesia, Hari Ibu ditetapkan pada 22 Desember melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959, bertepatan dengan peringatan 25 tahun Kongres Perempuan Indonesia 1928. Sementara di Amerika Serikat, Eropa, dan banyak negara lain, Mother’s Day biasanya diperingati pada Minggu kedua bulan Mei. (kim)













































