Sinta Nursimah S.Psi M.Pd dan putrinya Sri Andiani S.Psi M.Psi

IM.com – Di banyak keluarga, memiliki anak tunarungu masih sering disikapi dengan rasa iba yang berlebihan, bahkan disertai stigma. Tidak sedikit yang menganggap kondisi ini sebagai kesalahan orang tua, atau lebih jauh lagi, sebagai “hukuman”.

Padahal, kondisi gangguan pendengaran adalah kondisi medis. Bukan aib, bukan pula persoalan moral.

Pandangan inilah yang sejak lama ingin diluruskan Sinta Nursimah dan Sri Gutomo, orang tua dari Sri Andiani (29 tahun).

Putri mereka lahir dengan gangguan pendengaran berat sejak lahir. Namun, melalui proses terapi yang konsisten dan pendampingan tanpa lelah, Sri Andiani akhirnya mampu mendengar, berbicara dengan baik, dan menyelesaikan pendidikan akademisnya sebagai psikolog dari Universitas Surabaya pada 2023.

“Yang memalukan itu bukan anak saya,” ujar Sinta dengan nada tegas. “Yang memalukan adalah stigma masyarakat yang masih menganggap anak tunarungu sebagai aib.”

Sinta tidak hanya berbicara sebagai orang tua, tetapi juga sebagai pendiri Yayasan Aurica. Yayasan ini bermula dari sebuah lingkar kecil para orang tua yang memiliki keresahan serupa, bagaimana mendampingi anak tunarungu agar bisa tumbuh optimal.

Didirikan pada 1999, Yayasan Aurica kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan inklusif PAUD dan PG-TK yang berlokasi di Jalan Bendul Merisi Utara VIII/8, Surabaya. Saat ini, sekolah tersebut mendampingi 26 siswa.

Selain pendidikan inklusi, Yayasan Aurica juga menjadi pusat terapi pendengaran bagi anak berkebutuhan khusus. Hingga kini, tercatat 497 anak tunarungu dari berbagai daerah di Indonesia telah menjalani terapi di yayasan tersebut, dengan rentang usia mulai 4 bulan hingga 13 tahun.

Mendengar Dunia, Setahap demi Setahap

Sejak lahir, Sri Andiani hidup dalam dunia yang sunyi. Bukan karena ia tidak ingin mendengar, tetapi karena telinganya belum mampu menangkap suara. Bagi anak dengan gangguan pendengaran sejak lahir, suara bukanlah sesuatu yang bisa dikenali secara alami.

Dalam dunia terapi, pendengaran sering diibaratkan sebagai pintu utama perkembangan bahasa. Jika pintu itu tertutup, maka cahaya bahasa dan komunikasi sulit masuk. Bukan berarti anak tidak mampu belajar, tetapi jalurnya memang berbeda.

Sri Andiani melihat bibir orang-orang bergerak, melihat ekspresi, namun tanpa suara yang bisa dijadikan contoh. Tanpa mendengar, seorang anak tidak memiliki referensi untuk meniru bunyi dan membentuk kata.

Perubahan mulai terjadi ketika ia menjalani terapi pendengaran secara terstruktur. Alat bantu dengar menjadi langkah awal, membuka celah kecil agar suara bisa masuk. Tidak serta-merta jelas, tidak langsung dimengerti, tetapi cukup untuk memperkenalkan dunia bunyi.

Dalam terapi, ia tidak langsung diajari kata atau kalimat. Ia diperkenalkan pada nada-nada sederhana. Tinggi, rendah. Kuat, pelan. “Pendekatan ini penting, karena bagi anak tunarungu, mengenali bunyi adalah proses belajar dari nol,” kata Sri Gutomo, sang ayah yang juga praktisi audiogram di Yayasan Aurica.

Nada demi nada menjadi rangsangan pertama. Dari nada, muncul bunyi. Dari bunyi, terbentuk kata. Dari kata, lahirlah kemampuan berbicara.

Proses ini berlangsung lama dan membutuhkan kesabaran. Ada hari-hari penuh kemajuan, ada pula hari-hari ketika anak tampak menolak atau belum merespons. Namun, konsistensi adalah kunci dalam terapi pendengaran.

Perlahan, “ruang-ruang” dalam diri Sri Andiani terisi. Ia mulai mengenali suara, memahami bahasa, dan berani mengekspresikan diri. Dunia yang dulu hanya bisa ia lihat, kini bisa ia dengar dan pahami.

Melalui terapi pendengaran dan dukungan yang berkelanjutan, Sri Andiani akhirnya menemukan jalannya menuju dunia yang penuh suara, penuh makna, dan penuh harapan.

“Alat bantu dengar tak jadi jaminan anak tunarungu langsung bisa mendengar. Masih perlu tahapan yakni terapi hingga akhirnya anak akan mengenal nada dan bunyi untuk bisa berbahasa,” ujar Sinta. (anto)

58

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini