
IM.com — Kabut pagi menyelimuti Kampung Kramatjetak, Dusun Wonokerto, Desa Warugunung, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur.
Dari balik rimbun bambu, langkah-langkah kaki masyarakat perlahan berdatangan, menyatu dengan aroma tanah basah dan asap dapur kayu yang mulai mengepul.
Minggu Kliwon (14/12/2025) menjadi penanda usia tiga tahun Pasar Desa Wisata Keramat Pacet. Perayaan ini bukan sekadar seremoni ulang tahun, melainkan upaya menjaga ingatan kolektif tentang pasar desa Jawa tempo doeloe yang perlahan hidup kembali.
“Ini bukan hanya merayakan angka. Pasar Keramat kami bangun sebagai ruang untuk menghidupkan kembali memori pasar tradisional Jawa,” ujar Budiharjo, pendiri Pasar Keramat Pacet.

Sejak pukul 06.00 WIB, ratusan pengunjung memadati Pasar Keramat yang berdiri di atas lahan 1,7 hektare. Rumpun bambu lebat mengelilingi area pasar, menciptakan suasana teduh sekaligus menghadirkan kesan magis.
Suara bambu saling bergesekan tertiup angin berpadu dengan harum masakan tradisional dari dapur-dapur sederhana.
Perayaan ulang tahun ketiga ini turut dihadiri Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan, Bupati Mojokerto Gus Barra, para seniman, budayawan, serta masyarakat dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Meski demikian, suasana pasar tetap cair dan egaliter. Tak ada jarak antara pejabat dan warga. Semua larut dalam denyut kehidupan pasar desa yang hangat.
Begitu melangkah masuk, pengunjung seakan diajak menembus lorong waktu. Uang rupiah tak lagi berlaku di dalam pasar. Di pintu masuk, setiap orang wajib menukarkan uang pecahan dua puluh ribu rupiah dengan koin bambu.
“Koin bambu ini kami gunakan sebagai alat tukar di dalam pasar,” jelas Budiharjo.
Lebih dari sekadar alat transaksi, koin bambu menjadi simbol pengingat bahwa pasar tradisional dahulu adalah ruang interaksi sosial, tempat orang bertemu, berbincang, dan saling menyapa, bukan sekadar jual beli.
Di bawah naungan bambu, deretan lapak tersusun rapi. Ibu-ibu berkebaya dan berkain batik menyambut pembeli dengan senyum ramah dan bahasa Jawa halus. Di atas meja bambu, aneka hidangan tradisional tersaji untuk dijual, seperti sego gandul, lodeh, opor ayam, telur bacem, tempe, serta sayur-mayur yang disajikan dalam gerabah tanah liat.
Nasi dan lauk dibungkus daun pisang, memancarkan aroma khas yang jarang dijumpai di pasar modern. Setiap suapan menghadirkan cerita tentang dapur nenek di masa kecil, pagi-pagi di desa, dan kesederhanaan yang penuh rasa.
Kuliner menjadi daya tarik utama Pasar Keramat. Beragam kue pasar seperti onde-onde, klepon, tiwul, hingga kue kukus tersaji di tampah bambu beralas daun pisang, menggoda siapa pun yang lewat.
Pasar Keramat memang tak buka setiap hari. Pasar ini hanya hadir pada Minggu Wage dan Minggu Kliwon, dua hari pasaran dalam kalender Jawa yang sarat makna.
“Generasi Z dan milenial perlu dikenalkan kembali dengan hari pasaran Jawa,” kata Budiharjo.
Jadwal yang terbatas ini justru memperkuat daya tarik Pasar Keramat. Berkunjung ke sini bukan sekadar belanja, melainkan sebuah ritual kecil untuk menyelaraskan diri dengan tradisi.
Selain kuliner, pasar ini juga menjadi ruang pamer budaya. Berbagai mainan tradisional berbahan kayu ditawarkan, termasuk topeng-topeng kayu dengan ekspresi jenaka hingga menyeramkan. Topeng-topeng itu bukan sekadar hiasan, melainkan karya seni lokal yang sarat nilai filosofis.
Banyak pengunjung berhenti untuk berfoto, lalu membelinya sebagai buah tangan. Anak-anak tampak berlarian riang, terpikat oleh mainan kayu yang kini kian jarang ditemui. Sementara orang tua tersenyum, larut dalam nostalgia jajanan masa kecil yang mulai tergeser oleh makanan instan.
Di sela keramaian, alunan gamelan terdengar lirih, menyatu dengan suara tawar-menawar dan tawa pengunjung. Interaksi sosial terasa dekat dan tanpa sekat, tanpa tergesa, tanpa jarak.
Desi, pengunjung asal Sidoarjo, mengaku sengaja datang untuk merasakan suasana tersebut. “Saya ingin tahu langsung seperti apa pasar tempo dulu. Anak-anak juga bisa belajar budaya Jawa secara langsung,” ujarnya.
Tiga tahun sudah Pasar Keramat Pacet berdiri, menjaga denyut kehidupan pasar desa yang nyaris punah. Dengan bambu, koin kayu, gerabah tanah liat, dan senyum para pedagang, pasar ini menjelma lebih dari sekadar destinasi wisata.
Bagi mereka yang merindukan suasana pasar tradisional sekaligus rekreasi budaya, Pasar Keramat Pacet yang buka setiap Minggu Wage dan Minggu Kliwon menjadi tempat untuk kembali ke Jawa tempo doeloe, meski hanya sejenak. (anto)









































