inilahmojokerto.com – Sumatera sedang tidak baik-baik saja. Di saat lumpur masih menelan rumah, jerit korban teredam hujan, dan kehadiran negara belum sepenuhnya menjangkau titik-titik paling gelap, seorang anak muda justru datang lebih dulu. Tanpa seragam, tanpa protokol, hanya dengan nurani yang menolak menunggu.
Namanya Ferry Irwandi.
Ketika banjir bandang meluluhlantakkan wilayah-wilayah di Sumatera—Aceh, timnya sudah berada di garis depan. Bukan sebagai penonton empati, tetapi sebagai pekerja lapangan yang menyaksikan langsung kehancuran hingga 90 persen di sejumlah kawasan terdampak.
Di tengah puing dan luka, Ferry menangis. Suaranya bergetar saat berkata lirih namun tegas, “Kalau ada yang bilang kondisinya sudah membaik, jangan percaya.” Itu bukan kalimat sensasional. Itu peringatan moral.
Datang dengan Seluruh Diri
Tekad Ferry dalam membantu korban bencana bukan setengah hati. Prinsip hidupnya sederhana, namun mahal harganya. Dalam sebuah podcast bersama Deddy Corbuzier, ia pernah berkata, “Dalam bertindak, saya selalu 100 persen. Kalau membantu orang, ya 100 persen. Kalau bersenang-senang, ya 100 persen.”
Prinsip itu pula yang ia bawa ke Sumatera. Selama hampir satu bulan, Ferry mengarungi lumpur, menembus jalur udara dengan pesawat Cessna, memastikan 32 titik bencana mendapat perhatian, bantuan, dan harapan.
Bukan hanya logistik, tetapi juga kehadiran—sesuatu yang sering kali lebih menyembuhkan daripada sekadar angka bantuan.
Dari PNS ke Aktivis Digital
Lahir di Jambi, 16 Desember 1991, Ferry Irwandi bukan figur instan. Ia adalah alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan Universitas Central Queensland, mantan PNS Kementerian Keuangan yang memilih mundur setelah sepuluh tahun bekerja, demi jalan sunyi sebagai pembuat konten edukatif dan aktivis sosial.
Sejak 2012, ia dikenal luas lewat konten-konten kritis tentang politik, keuangan, filsafat, Stoikisme, dan isu sosial.
Kanal YouTube-nya telah diikuti 1,98 juta pelanggan dengan total tayangan lebih dari 163 juta kali, angka yang menunjukkan kepercayaan publik, bukan sekadar popularitas.
Ia adalah suami dari Muthia Nadhira dan ayah dari dua anak. Namun dalam misi kemanusiaan ini, ia juga menjadi “keluarga” bagi ribuan korban yang bahkan tak pernah ia kenal sebelumnya.
Rp10,3 Miliar dan Etika Transparansi
Melalui kampanye BersamaKitaBisa, Ferry dan tim berhasil menghimpun Rp 10,3 miliar donasi. Dana itu tidak berhenti sebagai laporan, tetapi bergerak—dialokasikan, didistribusikan, dan didokumentasikan secara terbuka melalui platform KitaBisa, email, serta media sosial.
“Semua terdokumentasikan dengan baik,” ujarnya.
Tak ada heroisme yang dibangun dari kabut. Yang ada adalah transparansi sebagai bentuk penghormatan kepada kepercayaan publik.
Pamit, Bukan Menyerah
Ada saat untuk datang membawa rencana di papan tulis. Dan ada saat untuk pergi dengan kelegaan yang tuntas. Setelah hampir sebulan di lapangan dan lebih dari 20 hari berpindah dari satu titik bencana ke titik lain, Ferry memilih pamit.
Bukan karena lelah berbuat baik, tetapi karena ia tau jika memaksakan diri justru bisa merugikan banyak orang. “Kondisi kesehatan dan fisik gua sudah mencapai limit,” katanya jujur.
Ia meminta maaf kepada mereka yang berharap ia membuka donasi lagi, kepada mereka yang berharap lebih.
Permintaan maaf yang langka di ruang publik yang sering mabuk pujian.
Suaranya bergetar. Kata-katanya patah. Namun di sanalah letak keberanian itu, berani berhenti demi kebaikan yang lebih besar.
Pahlawan Tanpa Patung
Ia menutup pesannya dengan gaya khasnya yang hangat, “Arigatou, Minna.”
Terima kasih, Ferry.
Terima kasih telah menunjukkan bahwa pahlawan tidak harus sempurna, tulis Adrian, seorang netizen yang mengagumi sikap Ferry. Pahlawan tidak harus selalu berdiri tegap tanpa luka.
Pahlawan adalah mereka yang bekerja jujur, memberi seluruh hati, dan tau kapan harus berhenti sebelum raga benar-benar runtuh.
Sumatera tidak akan lupa pada deru mesin Cessna yang memecah sunyi bencana, pada cahaya solar panel yang menyala di tengah gelap, dan pada seorang anak muda yang memilih hadir ketika banyak masih menimbang.
Selamat beristirahat, Ferry.
Maaf bila kami berlebihan menyebutmu pahlawan.
Namun sejarah sering kali ditulis bukan oleh mereka yang berkuasa, melainkan oleh mereka yang datang lebih dulu, dan pulang dengan tanggung jawab. (kim)
8










































