IM.com – Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin angkat bicara terkait penangkapan 10 orang yang terjaring operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Neneng mengaku sebelumnya telah mengingatkan anak buahnya, khususnya di Dinas PUPR agar berhati-hati terkait perizinan megaproyek Meikarta oleh pengembang raksasa Lippo Group.
“Awal tahun sudah saya wanti-wanti,” kata Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin kepada wartawan di kantornya, Senin (15/10/2018).
Kendati sejauh ini, Neneng mengaku belum tahu kasus yang menjerat anak buahnya di Dinas Pekerjaan Umum. Pihaknya masih menunggu konfirmasi dari KPK ihwal pejabat yang ditangkap dan kasus yang menjeratnya.
“Demi Allah, saya enggak tahu,” ujar Bupati dua periode ini.
Neneng mengatakan mengetahui berita penangkapan anak buahnya melalui media online pada Minggu malam. Setelah itu Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi baru menghubunginya. (Baca: OTT KPK di Pemkab Bekasi, Tangkap 10 Orang dan Sita Rp 1 M).
“Kemudian Pak Sekda (Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi, Uju) menghubungi ada penggeledahan,” ucapnya.
Sebagai informasi, Meikarta merupakan proyek ambisius Lippo Grup yang hendak membangun properti di atas lahan seluas 500 hektare dengan biaya sekitar Rp 278 triliun. Namun, hingga kini Pemprov Jawa Barat hanya memberikan rekomendasi lahan untuk proyek Meikarta membangun di atas lahan seluas 84,6 hektare.
Lippo Grup sangat agresif mempromosikan Meikarta dengan biaya iklan yang mencapai Rp 1,5 triliun sepanjang 2017. Persoalan iklan ini pernah berbuntut tagihan puluhan miliar dari dua vendor event organizer yang memasarkan produk Meikarta. Namun, gugatan Penundaan Kewajiban Penundaan Utang (PKPU) yang diajukan vendor ini mental di pengadilan.
Meikarta diterpa isu negatif berhentinya pekerjaan konstruksi di lapangan. Informasi ini dipicu beredarnya memo berlogo PT Total Bangun Persada Tbk kepada 15 sub-kontraktor tertanggal 28 April 2018.
Memo itu mengintruksikan penghentian sementara kegiatan konstruksi per 30 April 2018 sampai waktu yang akan diinformasikan kemudian. Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Total menjelaskan hanya mengerjakan empat proyek Orange Country yakni Tower C,D, E dan F.
Orange Country juga berlokasi di Cikarang dan proyek telah dimulai sebelum Lippo mencanangkan proyek Meikarta.
Lippo Grup pun tertepa kabar akan melepas sebagian kepemilikannya di proyek Meikarta. Namun, dibantah oleh Danang beberapa waktu lalu. Dia mengatakan Lippo Grup masih memiliki saham sebesar 54%.
“Kalau ada yang bilang jual saham, itu hoaks,” kata juru bicara Lippo, Danang Kemayan.
Bos Lippo Group Serahkan Diri ke KPK
OTT KPK di Bekasi didahului penyerahan diri mantan petinggi Lippo Group yang menjadi tersangka kasus suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy Sindoro ke KPK pada Jumat (12/10/2018). Ia menyerahkan diri setelah dua tahun kabur ke luar negeri.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan proses penyerahan diri Eddy dibantu berbagai pihak dari dalam dan luar negeri. Beberapa instansi yang terlibat antara lain otoritas Singapura, Kepolisian RI, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, serta pihak kedutaan. “KPK juga mendapat informasi dari masyarakat,” kata Laode.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, Eddy menyerahkan diri kepada KPK melalui Atase Kepolisian RI di Singapura pada 12 Oktober 2018. Setelah itu, tim KPK membawa Eddy ke Indonesia pukul 12.20 WIB waktu Singapura.
Setibanya di Indonesia, Eddy langsung ditangkap dan dibawa ke Gedung KPK, Jakarta untuk diperiksa. Tim yang membawa Eddy Sindoro tiba di Gedung KPK sekitar pukul 14.30 WIB.
Eddy menyandang status tersangka pada 21 November 2016. Dia diduga terkait dalam kasus suap atas pengurusan sejumlah perkara beberapa perusahaan di bawah Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penetapan tersangka Eddy merupakan pengembangan dari operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada 20 April 2016. Ketika itu, KPK menangkap panitera PN Jakarta Pusat, Edy Nasution dan pemberi suap Dodi Ariyanto Sumpeno di Hotel Acacia, Jakarta. Dari keduanya, penyidik menyita uang sebesar Rp 50 juta.
Eddy sempat dipanggil dua kali pada Mei 2016 untuk diperiksa sebagai saksi. Namun, dia tak hadir tanpa keterangan. Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada November 2016, Eddy juga sempat diagendakan untuk diperiksa, tetaapi kembali mangkir.
Sejak akhir 2016 hingga 2018, Eddy diduga berpindah-pindah ke sejumlah negara, yakni Bangkok, Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Pada November 2017, Eddy diduga mencoba memperpanjang paspor Indonesia di Myanmar.
KPK baru meminta penetapan daftar pencarian orang (DPO) terhadap Eddy pada Agustus 2018. Sampai akhirnya, pada 29 Agustus 2018, Eddy dideportasi untuk dipulangkan ke Indonesia dari Malaysia.
Di Bandara Soekarno Hatta, Eddy malah kembali terbang ke Bangkok yang diduga tanpa melalui proses imigrasi dengan bantuan pengacaranya, Lukas. Setelah lebih dari satu bulan berlalu, Eddy akhirnya menyerahkan diri.
Saat ini, Eddy ditahan di Rutan Cabang KPK di Pomdam Jaya Guntur. Eddy ditahan untuk 20 hari pertama.
Eddy disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a dan atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (kat/im)