IM.com -Pendidikan gratis untuk jenjang SD dan SMP yang didengungkan di Kota Mojokerto ternyata hanya isapan jempol. Pungutan bernilai puluhan juta rupiah masih dilakukan sekolah terhadap orang tua siswa. Ironisnya, praktik pungutan itu justru dilegalkan dengan payung hukum Peraturan Wali Kota.
Praktik pungutan oleh sekolah terhadap para orang tua siswa itu terkuak dalam rapat dengar pendapat antara Dinas Pendidikan dengan Komisi III DPRD Kota Mojokerto pekan lalu, Kamis (19/1). Salah seorang kepala sekolah SD negeri di Kota Onde-onde menjabarkan secara detil di hadapan dewan.
Pungutan dengan dalih sumbangan dari orang tua siswa itu meliputi beberapa item. Diantaranya pengadaan seragam khas oranye-hitam untuk 180 murid kelas II-VI senilai Rp 27 juta, setiap murid membayar Rp 150 ribu. Belum lagi pengadaan buku pelajaran untuk 36 murid kelas I senilai Rp 11 juta.
Tak hanya itu, sejumlah kegiatan rutin Pemkot Mojokerto yang mewajibkan partisipasi sekolah lagi-lagi membebani para orang tua siswa. Seperti pengadaan seragam gerak jalan hari kemerdekaan RI senilai Rp 5 juta untuk 20 murid, setiap murid diminta membayar Rp 250 ribu.
Juga partisipasi pawai sepeda hias senilai Rp 8,5 juta untuk 17 murid, setiap murid dikenai Rp 500 ribu; partisipasi pawai ta’aruf untuk 20 murid senilai Rp 2,5 juta, setiap murid diminta membayar Rp 120 ribu, dan konsumsi murid dalam partisipasi salawat akbar Rp 300 ribu.
“Kegiatan-kegiatan itu tak tercover Bosko (BOS pendamping dari Pemkot Mojokerto) karena dana tak mencukupi. Setiap siswa mendapatkan Bosko Rp 30 ribu per bulan. Kami mempunyai 216 siswa sehingga dalam setahun kami mendapatkan Bosko Rp 77,76 juta,” kata kepala sekolah berinisial A ini di hadapan Komisi III.
Kepala DinasPendidikan Kota Mojokerto, Novi Rajardjo membenarkan adanya praktik pungutan tersebut. Tak hanya di sekolah SD, pungutan juga terjadi di sekolah-sekolah SMP.
Menurut dia, pungutan itu terpaksa dilakukan masing-masing sekolah lantaran dana Bosko dan BOS dari pemerintah pusat tak cukup untuk menutup semua biaya kegiatan sekolah.
“Juknisnya Bosnas dan Bosko sudah jelas, tetapi setelah digunakan sekolah sesuai ketentuan, ternyata masih kurang. Jadi, untuk menuju ke pendidikan yang ideal, itu (Bosko) masih kurang,” ujarnya, Selasa (24/1/2017).
Ironisnya, pungutan yang membebani para orang tua siswa itu selama bertahun-tahun dilegalkan dengan Peraturan Wali Kota Mojokerto No 21 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembiayaan Pendidikan.
Diperparah lagi dengan adanya Peraturan Menteri Pendidikan No 75 Tahun 2016 yang membolehkan sekolah menggalang sumbangan dari masyarakat. Payung hukum ini lah yang membuat para kepala sekolah leluasa melakukan pungutan kepada para orang tua siswa.
“Di dalam perwali memang boleh memungut dengan item-item yang ditentukan. Orang menyebutnya macam-macam, ada sumbangan, ada pungutan, tapi esensinya karena dana BOS masih kurang. Nah, ini yang kami upayakan dalam PAK nanti tidak terjadi itu lagi,” jelas Novi.
Masih maraknya pungutan oleh sekolah itu, menurut Novi menjadi bukti pendidikan di Kota Mojokerto belum sepenuhnya gratis. Oleh sebab itu, pihaknya akan menambah dana Bosko untuk SD dan SMP dalam P APBD 2017. Saat ini dia menugaskan masing-masing kepala sekolah menyusun Rencana Kerja Anggaran Sekolah (RKAS) untuk menghitung nilai Bosko yang dibutuhkan agar tak lagi ada pungutan.
“Di sini ada semangat sekolah harus transparan, berapa yang dibutuhkan akan kami penuhi secara proporsional dalam PAK (perubahan anggaran keuangan). Tentunya kalau sudah tak ada pungutan lagi, dalam PAK anggaran cukup dan proporsional, maka sudah tak perlu lagi itu (Perwali),” tandasnya. (bud/uyo)