IM.com – Pjs Bupati Mojokerto Himawan Estu Bagijo, menyebut sebaran pandemi Covid-19 tidak mengenal batas-batas yurisdiksi (wilayah/daerah tempat berlakunya sebuah undang-undang berdasarkan hukum). Khususnya pada wilayah Kabupaten dan Kota Mojokerto yang saling bertumpu satu sama lain.
Untuk itu, Himawan mengajak dua pemerintahan ini untuk bekerjasama dan berinsegi dalam menanggulangi pandemi. Hal tersebut disampaikannya Pjs pada rapat gabungan Pemkab/Pemkot Mojokerto, dengan dihadiri Walikota Mojokerto Ika Puspitasari, beserta Forkopimda dan OPD.
“Kota Mojokerto ada di tengah-tengah wilayah kami. Saya ingin, kondisi ini tidak menjadi barrier kita dalam menangulangi pandemi. Wabah tidak kenal batas yurisdiksi. Warga kami yang kerja di kota juga ada, dan sebaliknya. Maksud saya, dari pertemuan ini kita bisa menyatukan sinergi,” kata Pjs Bupati Mojokerto, Selasa (7/10-2020) siang di Hotel Ayana Trawas.
Sepakat dengan Pjs Bupati Mojokerto, Walikota Mojokerto Ika Puspitasari juga menyatakan kesepahamannya terkait penanganan Covid-19 yang tidak mengenal batasan. Ning Ita ingin agar sinergi penanganan dapat dimulai dari penegakan sanksi, penanganan dan perawatan pasien, penyelenggaraan pendidikan hingga upaya-upaya pencegahan klaster.
“Saya sepakat, wilayah kita tidak bisa dipisahkan. Kebijakan masing-masing pemerintahan juga kadang tidak bisa dibedakan masyarakat. Mana kabupaten, mana kota. Begitupun juga dengan sanksi yang terkadang ada sedikit perbedaan,” kata Ning Ita.
Secara rinci, Ning Ita juga menjelaskan jika dari 6 RS kota, yang dilayani juga ada yang berasal dari warga kabupaten. Masalah juga timbul, terkait keterbatasan lahan pemakaman korban Covid-19 yang kerap menimbulkan gejolak status kewilayahan.
“Jumlah warga kota sekitar 140 ribu. Jumlah itu sebetulnya bisa terlayani di dua sampai tiga RS yang ada. Sebenarnya tidak ada persoalan, hanya perlu koordinasi. Di kota, lahan pemakanan covid sangat terbatas. Ditambah persepsi masyarakat, kerap menolak jenazah jika bukan warga asli,” tambah Ning Ita.
Beberapa problem juga dikupas oleh Ning Ita dalam pembahasan ini. Antara lain pendidikan sekolah, munculnya klaster ponpes dan perkantoran termasuk lapas.
“Di kota ada sekitar 33 perkantoran termasuk perbankan. Seluruh aktivitasnya melayani masyarakat daerah manapun. Ini perlu kita buat strategi bagaimana ada standarisasi yang sama, antara kabupaten maupun kota. Itu bisa jadi klaster, lalu nular ke keluarga, termasuk klaster lapas. Kami sudah rapid. Tapi tetap butuh sinergi bersama,” tandas Ning Ita.
Menanggapi hal di atas, Pjs Bupati Mojokerto menjabarkan beberapa hal penting soal regulasi, operasi, penerapan sanksi. Sistem treatment dari semua tindakan penanganan Covid-19, diminta agar punya standard yang sama. Pjs Bupati juga menghendaki adanya informasi tunggal demi terwujudnya sinergi.
“Saat penerapan di lapangan, mungkin kita ada sedikit perbedaan. Namun, basis regulasi sebenarnya sama. Begitu juga dengan penentuan reward-punishment yang tepat saat penegakan sanksi protokol kesehatan. Perlu ada single information between us, supaya kita ini sinergis,” kata Pjs bupati.
Pjs Bupati Mojokerto pun memastikan jika izin membuka sekolah luring, telah mendapat restu Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Meski dengan beberapa catatan, hal tersebut dapat menjadi motivasi dalam menekan Covid-19.
“Untuk pendidikan, kita sudah diizinkan Ibu Gubernur. Tentu dengan aturan yang ketat. Kita harus hijau dulu, yang masuk sekolah pun bertahap 25 persen secara bergantian. Izin rekomendasi juga harus dikantongi. Kita keluar dari forum ini, harus dengan action plan. Saya akan tugaskan asisten 1, 2 dan 3 dibantu semuanya,” tambah Pjs Bupati.
Kapolresta Mojokerto AKBP Deddy Supriyadi, dalam pertemuan ini turut menjawab adanya keluhan perbedaan sanksi denda pelanggar protokol kesehatan. Tidak hanya di pusat keramaian masyarakat, Kapolres juga menyarankan adanya operasi yustisi skala mikro secara rutin. Kapolresta juga mengusulkan adanya reward bagi desa yang hingga sekarang dapat bertahan sebagai zona hijau (zero case), misalnya seperti beberapa desa di Kecamatan Dawarblandong.
“Perbedaan itu sebenernya karena masa transisi, komitmennya tetap sama yakni protokol kesehatan harus tegak. Senjata kita yang utama yustisi. Berdasarkan penelitian UNAIR, yustisi punya andil dalam menurunkan status dari merah ke oranye seperti yang terjadi di Jawa Timur terkini. Yustisi kalau bisa harus sampai tingkat desa, kelurahan bahkan dusun. Reward bagi yang patuh, dan masih hijau sampai sekarang juga harus ada,” kata Kapolresta.
Sementara itu, Kapolres Mojokerto AKBP Dony Alexander, pada paparannya mengutarakan problem pengendalian angka kematian akibat Covid-19 yang belum bisa ditekan. Dony melihat hal tersebut kemungkinan bisa disebabkan perbedaan treatment antara RSUD dan RS swasta.
“Belakangan memang jumlah terinfeksi mulai turun. Namun jumlah kematian Covid-19 ternyata belum bisa ditekan. Ada benang merah yang belum bisa diurai. Bagaimana pengendalian angka kematian Covid-19 ini. Mungkin saja ada perbedaan treatment antara RSUD dan RS swasta dalam menangani pasien Covid-19. Kita harus menyatukan visi dan misi, merumuskan standarisasi treatment terbaik bagi pasien,” papar Dony.
Dony pun menambahkan, bisa jadi tingginya kematian Covid-19 karena pasien yang memang memiliki komorbid atau penyakit penyerta. Untuk itu, Ia menyarankan pengadaan bank data medical check up masyarakat.
“Tiap kecamatan wajib punya medical check up masyrakatnya. Dari situ bisa ditelusuri mana sekiranya yang komorbid agar dapat dilakukan penanganan lebuh cepat dan tepat,” tandas Dony. (uyo)