Ilustrasi Sekolah Dasar Negeri

‎IM.com – Fenomena penurunan jumlah siswa baru terjadi di Mojokerto, Jombang, Nganjuk hingga Samarinda. Sekolah berbasis agama jadi pilihan utama orang tua.

‎Puluhan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di berbagai daerah di Indonesia mengalami kekurangan siswa baru pada tahun ajaran 2025/2026. Fenomena ini tercatat di Mojokerto, Jombang, Nganjuk hingga Samarinda, sementara sekolah swasta berbasis agama justru kebanjiran peminat.

‎Di Kabupaten Mojokerto, Dinas Pendidikan membuka gelombang kedua Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena masih banyak sekolah negeri yang belum memenuhi pagu. Dari 385 SD Negeri yang ada, sekitar 20–30 persen belum mencukupi jumlah siswa baru. Salah satunya SDN Tawangrejo, Kecamatan Jatirejo yang baru menerima 10 siswa dari total kuota 28.

‎“Belum ada penambahan. Jumlah siswa baru kami masih tetap sepuluh,” kata Kepala SDN Tawangrejo, Henti Yanusri Mawar, Kamis (4/7).

‎Kondisi serupa terjadi di SDN Tampungrejo, Kecamatan Puri yang baru menerima 24 dari 28 siswa yang ditargetkan. Bahkan, sejumlah siswa berasal dari luar kecamatan melalui jalur domisili.

‎Sementara di Kabupaten Jombang kondisinya lebih memprihatinkan. Sebanyak 47 SD Negeri mencatat penerimaan siswa baru di bawah 10 orang. Tiga di antaranya bahkan tidak mendapatkan satu pun murid baru, seperti SDN Selorejo Mojowarno, SDN Kertorejo 1 Ngoro, dan SDN Pojok Klitih 3.

‎“Untuk saat ini kami hanya dapat enam siswa. Ini penurunan dari tahun-tahun sebelumnya,” ujar Kepala SDN Jombatan 6, Nur Salim, kepada wartawan.

‎Di Kabupaten Nganjuk, 60 SD Negeri yang menggelar PPDB online dilaporkan sepi pendaftar. Sebanyak 19 sekolah diantaranya bahkan belum menerima siswa sama sekali hingga akhir Juni.

‎“SDN yang sepi peminat itu berada di wilayah pinggiran. Kami harap pendaftaran akan meningkat menjelang penutupan,” ujar Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan Nganjuk, Munawir.

‎Hal serupa terjadi di Samarinda, Kalimantan Timur. Menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Samarinda, Asli Nuryadin, banyak sekolah negeri belum memenuhi kuota, sementara sekolah swasta unggulan justru penuh sejak jauh hari.

‎“Swasta lebih dulu merekrut siswa dan punya segmen tersendiri. Masyarakat sekarang lebih selektif melihat kualitas layanan pendidikan,” jelasnya, Jumat (4/7).

‎Ia menambahkan, sekolah berbasis agama kini menjadi pilihan utama orang tua. Alasannya beragam, mulai dari harapan agar anak mendapat bekal keagamaan yang kuat hingga kekhawatiran akan pergaulan bebas.

‎Namun, tren ini memunculkan kekhawatiran terhadap arah pendidikan nasional. Banyak sekolah agama menawarkan program yang kurang relevan dengan kebutuhan kompetensi masa depan, seperti fokus pada hafalan kitab suci, sementara tuntutan zaman mengarah pada penguasaan teknologi dan keterampilan berpikir kritis.

‎Jika fenomena ini terus berlangsung, pakar pendidikan menilai bonus demografi Indonesia bisa berubah menjadi beban. Visi Indonesia Emas 2045 terancam gagal bila generasi muda tidak dibekali dengan kemampuan adaptif dan kompetensi global. (kim)

67

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini