
IM.com – Jalanan Kota Pahlawan berubah menjadi lautan manusia. Ribuan demonstran dari berbagai elemen—nelayan, petani tambak, mahasiswa, pelaku UMKM pesisir, organisasi masyarakat, hingga serikat pekerja menggelar aksi bertajuk “Surabaya Bergerak: Tolak Surabaya Waterfront Land (SWL)”, Senin, 22 September 2025.
Aksi besar-besaran ini dipicu oleh kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah kota dan provinsi yang dinilai tidak konsisten dalam mendukung penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Surabaya Waterfront Land.
Sejak pagi, massa berkumpul di Kampus ITS Sukolilo dan bergerak menuju Balai Kota Surabaya dengan iring-iringan 10 truk bantuan SPSI. Setelah menyuarakan aspirasi di depan Wali Kota Eri Cahyadi, mereka melanjutkan long march ke Kantor Gubernur Jawa Timur di Jalan Pahlawan.
Seruan mereka menggema lantang: “Usir Aguan dari Surabaya!”, merujuk pada nama taipan properti yang dituding berada di balik pengembang proyek reklamasi tersebut. Pengunjuk rasa juga mengusung keranda bertuliskan “Habisi Tumbi.” Sosok yang dikenal nakal dalam melakukan pengurukan pantai Surabaya untuk dikuasai.

Latar Belakang Penolakan
Ramadhani J. Samudera dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mengatakan, penolakan terhadap SWL bukanlah isu baru. Sejak Permenko Perekonomian No. 6 Tahun 2024 memasukkan proyek reklamasi pesisir Surabaya ke daftar PSN, masyarakat pesisir terutama nelayan Kenjeran sudah melakukan konsolidasi dan aksi penolakan di berbagai tingkatan.
Meski kemudian Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029 tidak lagi mencantumkan SWL di antara 77 proyek strategis nasional, pengembang tetap melanjutkan tahapan pra-operasional.
Menurut Koordinator Aksi, Erfanda Andi Mada Are Tya, saat ini, PT Granting Jaya milik Tumbi sebagai pemegang proyek telah mengantongi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan sedang mengurus izin lingkungan melalui penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL).
Bagi Forum Masyarakat Madani Maritim (FMMM), proses tersebut cacat secara prosedural. Rapat konsultasi KA-ANDAL yang digelar pada 21 Agustus 2025 dinilai tidak transparan dan minim pelibatan publik.
Lebih ironis lagi, perwakilan organisasi perangkat daerah (OPD) serta camat dari wilayah terdampak tidak menunjukkan komitmen penolakan, meski sebelumnya Pemkot Surabaya pernah menyatakan sikap menolak reklamasi.
1,5 Tahun Perlawanan
Koordinator Forum Masyarakat Madani Maritim, Heroe Budianto menerangkan, aksi Surabaya Bergerak, FMMM menegaskan perjuangan menolak SWL sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun. Mereka melakukan audiensi dari tingkat kota, provinsi, hingga pusat, termasuk ke Komisi IV DPR RI.
Namun jalur dialog dianggap menemui jalan buntu. Surat audiensi ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada 1 dan 19 September 2025, misalnya, tidak ditanggapi. Pertemuan dengan Sekretaris Daerah Kota Surabaya pada 10 September lalu justru memperuncing keadaan. Alih-alih menampung aspirasi, gaya komunikasi Sekda dinilai arogan, penuh candaan, dan merendahkan perjuangan warga.
“Kami akhirnya menerima tantangan Sekda untuk melaksanakan demonstrasi,” tutur Heroe.
Tiga Tuntutan Utama
Dalam aksi ini, masyarakat menyuarakan tiga tuntutan yang ditujukan kepada Wali Kota Surabaya dan Gubernur Jawa Timur:
Pertama, menyatakan penolakan terhadap Surabaya Waterfront Land secara administratif maupun terbuka di depan publik.
Kedua, mengirimkan nota permohonan pencabutan PKKPRL kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
Ketiga, mengirimkan nota permohonan penghentian proses izin lingkungan (AMDAL) kepada Kementerian Lingkungan Hidup RI.
FMMM memberi tenggat 3×24 jam kepada pemerintah daerah untuk merespons. Jika tuntutan tidak dipenuhi, mereka berjanji meningkatkan eskalasi gerakan secara lebih besar dan masif.
Di balik penolakan ini, terdapat dasar akademik yang kuat. Lokasi reklamasi SWL berdiri tepat di habitat udang, kerang, teripang, dan ikan, komoditas penting bagi nelayan Surabaya dan daerah lain di Jawa Timur, termasuk Sidoarjo, Madura, Pasuruan, dan Probolinggo.
“Ketika habitat ini rusak, maka rantai pasok pangan nasional juga terancam,” Rahmat Mahmudi, perwakilan Aliansi Ulama dan Tokoh Jatim, menegaskan.
Hal ini, lanjutnya, bertentangan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto tentang ketahanan pangan. Nelayan khawatir reklamasi justru akan melemahkan fondasi perikanan tradisional yang menopang ratusan ribu keluarga. (kim)