
IM.com – Suara-suara dari laut kembali menggema di tengah hiruk-pikuk pembangunan kota. Hampir dua tahun Forum Masyarakat Maritim Madani (FM3) memperjuangkan hak hidup mereka yang terancam oleh proyek Surabaya Waterfront Land (SWL), sebuah proyek reklamasi raksasa milik PT Granting Jaya yang dinilai dapat mengubah wajah pesisir timur Surabaya sekaligus mematikan denyut ekonomi dan peradaban nelayan Kenjeran.
Kamis (9/10/2025), sekitar 200 warga pesisir dari berbagai komunitas nelayan, petambak, dan pedagang hasil laut memadati kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Timur di kawasan Menanggal. Mereka datang dengan satu suara: “Tolak Reklamasi!”
Bukan tanpa alasan. Bagi mereka, laut bukan sekadar bentangan air asin, melainkan sumber kehidupan, ruang kerja, dan warisan budaya yang turun-temurun dijaga.
“Dengan membayangkan saja kami sudah tau akibat reklamasi,” ujar Rotija, perwakilan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia. “Ketika laut jadi daratan, nelayan kehilangan pekerjaan dan para perempuan kehilangan penghasilan dari berdagang hasil laut.”
Nada serupa disampaikan Syamsul Maarif, petani tambak dari Keputih. Ia menggambarkan ancaman konkret yang dihadapi masyarakat pesisir.
“Di daerah kami ada 300 hektar tambak milik 216 orang. Kalau reklamasi ini diteruskan, semua itu akan musnah. Kami bukan menolak kemajuan tapi kami ingin kehidupan tetap berjalan,” tegas Syamsul.

Ancaman Ekologis dan Kemanusiaan
Kekhawatiran masyarakat bukan tanpa dasar. Heroe Budiyanto, penggerak masyarakat nelayan, mengingatkan tentang dampak ekologis yang mengerikan jika reklamasi Surabaya diteruskan.
“Lihat Bali. Reklamasi Teluk Benoa seluas 80 hektar saja sudah menimbulkan bencana. Di Surabaya, luasnya lebih dari seribu hektar dan menutup beberapa sungai. Ini bisa membunuh ekosistem dan berdampak pada 3,5 juta jiwa. Kota Surabaya pasti tenggelam,” tegasnya.
Heroe menilai bahwa proyek SWL bukan sekadar pembangunan infrastruktur, tetapi ancaman terhadap keberlanjutan hidup manusia dan alam di pesisir Surabaya. (kim/wid)