Membahas pertanian bersama Novianto (dua dari kanan), manajer pemasaran benih unggulan produk Rijk Zwaan, Belanda, untuk kawasan Asia

‎IM.com – Kita perlu belajar dari model agribisnis Belanda yang membuat petani makmur dan mandiri. Sementara petani di Indonesia masih berkutat dengan masalah klasik seperti harga yang tak menentu dan lemahnya posisi tawar di pasar, petani Belanda justru hidup makmur.

‎Kuncinya bukan pada lahan luas atau bantuan pemerintah, melainkan pada sistem manajemen profesional dan budaya kerja kolektif yang terorganisir kuat.

‎Hal ini terungkap dalam dialog ringan bersama Novianto, seorang profesional agribisnis yang telah lama bekerja di perusahaan multinasional – produsen benih unggul – berbasis di Belanda.

‎Percakapan berlangsung di sela-sela pameran anggrek di Kota Batu, Jumat  (10/10/2025), dan mengupas tuntas rahasia kemakmuran petani negeri kincir angin tersebut.

‎“Petani di Belanda rata-rata makmur. Mereka tau membaca tren, menganalisis kebutuhan pasar, lalu mencari solusi bersama-sama,” ujar Novianto membuka percakapan.

‎Novi menekankan, kemandirian petani Belanda tumbuh karena kesadaran kolektif untuk bersatu dalam koperasi yang kuat secara bisnis dan manajerial.

‎Di negara itu, setiap kelompok petani membentuk koperasi khusus berdasarkan komoditas. Misalnya, petani tomat hanya fokus menanam tomat, sementara urusan penjualan dan administrasi koperasi diserahkan pada tenaga profesional yang digaji dan diberi komisi layaknya korporasi modern.

‎“Petani hanya fokus menanam, sementara urusan bisnis ditangani profesional. Itu membuat sistem menjadi efisien dan berkelanjutan,” terang Novianto.

‎Sistem koperasi di Belanda benar-benar dikelola seperti perusahaan, bukan sekadar kelompok tani administratif. Mereka punya manajer profesional, sistem logistik, hingga strategi pemasaran yang disusun secara ilmiah.

‎Jika ada permintaan tomat lima ton dengan spesifikasi tertentu, para petani membicarakan bersama dan melaksanakan dengan disiplin tinggi.

‎Sebaliknya, ketika menyinggung kondisi di Indonesia, Novianto tak menutupi keprihatinannya. “Petani kita masih sering sikut-sikutan. Bandar atau tengkulak yang justru diuntungkan, karena memecah petani dengan permainan harga,” ujarnya.

‎Ia mencontohkan, dalam kasus komoditas cabai merah, sistem “devide et impera” alias politik belah bambu masih menjadi praktik umum di tingkat perdagangan. Petani yang khawatir produknya cepat layu akhirnya menjual murah, sementara bandar menimbun keuntungan besar.

‎Sementara itu, kelembagaan pertanian di Indonesia, seperti Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), menurut Novianto belum berfungsi sebagaimana mestinya. “Banyak yang dibentuk secara top down oleh pemerintah, bukan dari kesadaran petani sendiri,” jelasnya.

‎Akibatnya, petani lebih fokus membuat proposal bantuan ketimbang rencana bisnis dan pemasaran. “Kalau ada bantuan turun, malah ribut. Traktor rusak saling tuduh. Akhirnya nganggur. Itu masalah klasik yang dari dulu belum berubah,” tambahnya getir.

‎Melalui refleksi ini, Novianto berharap Indonesia dapat belajar dari Belanda tentang pentingnya profesionalisasi sektor pertanian. Bahwa untuk menyejahterakan petani, bukan semata dibutuhkan pupuk atau bibit unggul, melainkan sistem manajemen yang kuat, transparan dan berorientasi pasar.

‎“Petani kita sebenarnya hebat dan pekerja keras. Yang kurang hanya satu: sistem yang dikelola dengan profesional dan kompak seperti di Belanda,” pungkasnya.

‎Tulisan ini menjadi pengingat penting bahwa kesejahteraan petani bukanlah utopia. Ketika kerja keras di ladang diimbangi dengan profesionalisme dalam manajemen dan solidaritas ekonomi, petani bisa menjadi tulang punggung ekonomi yang benar-benar kuat—bukan hanya di atas kertas. (kim)

19

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini