Eks Dirut ASDP, Ira Puspadewi di Pengadilan Topikor di PN Jakarta Pusat, 20 Nopember 2025 (Ist).

IM.com – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) Ira Puspadewi dan dua rekannya menjadi titik balik dramatis dalam salah satu kasus hukum bisnis paling menyita perhatian publik sepanjang tahun.

‎Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebut rehabilitasi itu lahir dari rangkaian aspirasi publik yang dihimpun DPR sejak pertengahan 2024.

‎Komisi III diminta melakukan kajian hukum menyeluruh atas perkara Nomor 68/Pid.Sus-TPK/PN.Jkt.Pst, yang kemudian disampaikan kepada pemerintah.

‎Menurut Dasco di Istana Kepresidenan, Selasa, 25 Nopember 2025 menerangkan, dari hasil komunikasi dengan pihak pemerintah, Presiden akhirnya menandatangani surat rehabilitasi Direktur Utama PT ASPD Ira Puspadewi, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Muhammad Yusuf Hadi sertab Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Harry Muhammad Adhi Caksono.

‎Rehabilitasi itu menutup sementara babak penuh polemik yang memisahkan tafsir hukum, nurani publik, dan keberanian profesional menghadapi risiko kriminalisasi kebijakan bisnis.

‎Aspirasi Publik Mengalir ‎Pendapat Hakim Terbelah

‎Nama Ira telah telanjur viral. Di media sosial, tagar #SaveIraPuspadewi bergema sebagai ekspresi publik bahwa ada kegelisahan yang belum tuntas dijawab proses peradilan.

‎Banyak pihak menilai Ira bukanlah pelaku korupsi, melainkan profesional yang terseret pusaran tafsir keliru atas keputusan korporasi yang seharusnya dinilai melalui kacamata bisnis, bukan pidana.

‎Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan bahwa Kementerian Hukum juga menerima aspirasi serupa. Kajian dilakukan, dibahas dalam rapat terbatas, dan Presiden meneken keputusan rehabilitasi yang kemudian diumumkan kepada publik.

‎Sebelumnya, majelis hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 4 tahun 6 bulan penjara kepada Ira, sementara dua pejabat ASDP lain dihukum 4 tahun penjara. Pengadilan menilai terdapat kerugian negara Rp 1,25 triliun dalam akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh ASDP.

‎Namun putusan itu tidak bulat. Ketua majelis, Hakim Sunoto, menyatakan dissenting opinion yang tegas: Ira dan dua rekannya tidak melakukan tindak pidana korupsi.

‎Ia menilai seluruh tindakan mereka masuk dalam prinsip Business Judgment Rule (BJR), tidak ada niat jahat, dan seluruh proses akuisisi berada dalam koridor profesional.

‎Dua hakim lainnya memilih jalan berbeda. Di sinilah ironi hukum bisnis itu mencuat. Sebuah keputusan korporasi yang lazim dalam dunia BUMN justru diterjemahkan sebagai tindak pidana ketika terdapat perbedaan metode valuasi dan due diligence.

Jejak Profesional Dipertaruhkan

‎Tulisan emosional Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, kian memperkuat dimensi humanis kasus ini. Ia mengaku sebagai orang yang dulu membawa Ira pulang dari karier internasionalnya di GAP Inc. untuk membenahi Sarinah, kemudian Pos Indonesia, dan akhirnya ASDP.

‎“Kabar vonis itu membuat saya menitikkan air mata,” tulis Dahlan.
‎Ia menggambarkan perubahan besar yang dibawa Ira. Seperti pembenahan pelayanan, pemberantasan calo, hingga lonjakan laba ASDP mencapai Rp 3 triliun— rekor tertinggi sepanjang sejarah perusahaan.

‎Namun perjalanan karier itu seolah runtuh seketika. Dahlan mengingatkan bahwa kriminalisasi keputusan bisnis dapat menakutkan generasi profesional di BUMN.

‎Ia menyinggung kasus serupa yang menimpa Milawarman (PT Bukit Asam), yang pada akhirnya dibebaskan di tingkat banding. “Pun Ira. Nama baik mereka terlanjur rusak sebelum keadilan pulih.”

‎Dalam pembelaannya, Ira menegaskan akuisisi PT JN bukan transaksi spekulatif, melainkan upaya strategis menyeimbangkan rute-rute komersial dan rute tersubsidi di daerah terpencil sebagai penopang utama stabilitas harga komoditas di wilayah kepulauan.

‎“Kalau ASDP berhenti karena cuaca buruk, harga telur bisa naik tiga kali lipat,” ujarnya di persidangan.

‎Namun KPK memiliki pandangan berbeda. Juru bicaranya, Budi Prasetyo, menyebut kerugian negara berasal dari ketidaktepatan metode valuasi, kondisi aset yang menua, serta due diligence yang dinilai lemah.

‎Perdebatan itu memperlihatkan betapa tipis batas antara “kebijakan bisnis yang berisiko” dan “perbuatan melawan hukum” ketika tafsir hukum tidak sejalan dengan standar manajemen perusahaan.

‎Dengan ditekennya rehabilitasi oleh Presiden Prabowo Subianto, status Ira dan dua rekannya kini dipulihkan. Namun proses banding dan dinamika hukum selanjutnya tetap akan menjadi ujian apakah keberanian profesional BUMN akan mendapat ruang aman, atau terus dibayangi risiko kriminalisasi.

‎Bagi sebagian kalangan, rehabilitasi ini adalah sinyal bahwa negara mendengar kegelisahan publik dan bahwa dissenting opinion hakim Sunoto bukan sekadar catatan minor, melainkan penanda penting untuk memperbaiki cara negara membaca keputusan bisnis.

‎Dan bagi publik yang mengikuti kasus ini dengan keprihatinan, rehabilitasi bukan akhir, melainkan pintu untuk menata ulang relasi antara ruang korporasi, hukum dan kemanusiaan. (kim)

10

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini