Sebanyak 201 ton sampah impor diangkut 8 Kontainer dari Australia masih ditahan di Terminal Petikemas, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pemerintah berencana mengembalikan sampah yang didatangkan perusahaan importir di Jatim tersebut ke negara asal karena mengandung limbah B3.

IM.com – Kebijakan pemerintah mengembalikan sampah plastik ke negara pengsekpor dinilai masih setengah hati. Jika dibanding negara ASEAN lain, volume pengembalian sampah impor di Indonesia jauh dari setara.

Negara Asia Tenggara menjadi tujuan utama untuk limbah plastik pada tahun 2018 setelah China melarang impor sampah. Sampah plastik yang masuk ke Malaysia melonjak drastis selama tajam tahun terakhir.

Tahun 2017, impor sampah plastik masih 316.600 ton dan 168.500 ton pada 2016. Namun pada periode Januari-Juli, sampah plastik impor melonjak menjadi 456.000.

Data Brantas River Coalition to Stop Imported Plastic (Bracsip) menyebutkan, negara ASEAN seperti Filipina dan Malaysia dalam sekali tindakan bisa mengembalikan ribuan ton sampah yang diekspor Amerika, Australia dan Inggris. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari volume sampah yang dikembalikan Indonesia ke negara pengekspor.

“Bayangkan sampai Juni (2019), hanya 5 kontainer yang dikembalikan. Gak ada apa-apanya. Filipina saja bisa kembalikan 2.000 ton, Malaysia mengembalikan 3.000 ton, Indonesia cuma 5 kontainer, hanya seratusan ton,” tandas Koordinator Bracsip, Prigi Arisandi di tengah puluhan massa yang berunjuk rasa di depan Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Surabaya, Jumat (12/7/2019).

Prigi mengungkapkan, saat ini masih 38 kontainer sampah milik Amerika Serikat dan beberapa lainnya dari Australia masih ditahan di Pelabuhan Tanjung Perak.

Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyarankan agar 8 kontainer berisi 201 ton sampah impor dari Australia yang ditahan di Pelabuhan Tanjung Perak dikembalikan ke negara asal karena terkontaminasi plastik dan kandungan limbah berbahaya (B3). (Baca: Gagal Dibuang ke Jatim, 210 Ton Sampah dari Australia Menumpuk di Pelabuhan Tanjung Perak).

“Pemerintah harus lebih tegas dan berani melakukan penindakan sampah impor ini. Selain itu, upaya komprehensif juga harus dilakukan melalui regulasi yang tegas dan jelas, bukan hanya kebijakan insidental pengembalian sampah,” ujarnya.

Menurut Prigi, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016 dan UU Pengelolaan Sampah Nomor 18 tahun 2008 memang sudah cukup tegas dalam hal pelarangan impor sampah rumah tangga. Tetapi, selama ini aspek pengawasannya yang lemah.

“Sebenarnya tidak masalah (industri kertas) membeli kertas atau waste paper dari banyak negara untuk bahan baku. Tapi yang jadi masalah kan waste paper ini dicampuri plasik dan sampah rumah tangga. Bahkan sampai tercampur limbah B3, sangat berbahaya.  Amerika paling banyak ngirim sampah ke kita, selain Australia dan Inggris,” tegas Prigi.

Berdasarkan data yang dimiliki Bragsip, pada tahun 2018, 170 ribu ton sampah dikirim Amerika ke Indonesia. Sebanyak 20-30 persen sampah yang dikirim berjenis food packaginghousehold product, dan personal care

Selama 2018, impor bahan limbah ke Jatim dari Australia mencapai 52.000 ton, meningkat 250 persen dari 2014.

“Ini kemudian gak etis. Gimana bisa bilateralnya bagus kalau kita ngirim sampah ke tetangga. Mereka tau kalau ngolah sampah itu merusak lingkungan, air, pencemaran. Makanya dibuang ke Indonesia melalui importir Indonesia dan dibeli industri kertas untuk bahan baku,” jelasnya.

Prigi memamparkan, ada 12-18 industri kertas di Jawa Timur yang memakai kertas bekas impor sebagai bahan bakunya. Perusahaan ini tersebar di Malang, Kediri, Nganjuk, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, dan Surabaya. 

“Ada Importir, industri kertas ini kan sudah lama. Kan harusnya mereka ini dirugikan kalau mereka beli kertas dapat plastik. Tapi faktanya mereka gak pernah komplain. Karena APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia) tidak pernah komplain ke negara-negara ini, yang diuntungkan ya importir dan eksportir,” cetusnya.

Ironisnya lagi, mayoritas industri kertas itu tidak mau mengolah limbah hasil produksi dan sampah yang tak terpakai (kandungan plastik) untuk bahan baku. (Baca: Per Hari, 75 Ton Sampah Plastik Impor Dibuang ke Desa Bangun, 60 Persen Tak Bisa Didaur Ulang).

Limbah itu kemudian ditimbun, dibuang dan dikomersilkan lagi ke distributor dengan memanfaatkan warga (petani sampah) yang mengais nafkah dari timbunan sampah industri kertas tersebut. (Baca: Pabrik Kertas di Mojokerto Gunakan Bahan Baku Sampah Impor, tapi Ipal Buruk). (im)

55

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini