IM.com – Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Mojokerto terus meningkat. Anak-anak tak hanya menjadi korban, namun juga sudah menjadi pelaku. Untuk meminimalisir, selain memperkuat nilai keagamaan, orang tua wajib memberikan pendidikan seks terhadap anak sejak dini.
Lembaga Pendampingan Perempuan dan Anak (LPPA) Mojokerto mencatat, tahun 2015 terjadi 10 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Ironisnya, pelaku asusila itu juga anak-anak. Sementara kekerasan seksual dengan pelakunya orang dewasa pada tahun yang sama tercatat sebanyak 7 kasus.
Kasus serupa justru mengalami peningkatan tahun 2016. Sejak Januari-Juli tercatat 13 kasus kekerasan seksual dengan korban maupun pelakunya anak-anak. Sementara kekerasan seksual dengan pelaku orang dewasa sebanyak 11 kasus.
Ketua LPPA Mojokerto, Hamidah menilai, melihat tren yang ada, kasus kekerasan seksual sudah kian mengkhawatirkan. Terlebih lagi, saat ini pelaku perbuatan asusila itu sudah menyentuh anak-anak. “Jadi, anak-anak tidak hanya menjadi korban, tapi sudah menjadi pelaku,” kata Hamidah.
Berdasarkan analisa kasus yang dilakukan, lanjut Hamidah, terdapat beberapa faktor yang memicu terjadi kekerasan seksual terhadap anak. Diantaranya semakin lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak, pengaruh lingkungan tempat tinggal, dan kemajuan teknologi yang menghadirkan smartphone ke tangan anak.
Kasus yang terjadi pun kian memprihatinkan. Menurut dia, anak perempuan usia SD bahkan TK sudah mempunyai kecenderungan penyimpangan perilaku seksual. Mereka tak segan berbuat asusila dengan teman laki-laki yang sebaya.
Kasus yang tergolong tak wajar itu, salah satunya dipicu orang tua yang kurang menjaga privasi dari anak saat berhubungan intim. Tontonan itu secara otomatis terekam dalam memori anak dan ditiru. Sementara kasus lainnya dipicu perbuatan asusila orang dewasa. “Ternyata pada kasus tertentu menimbulkan efek ketagihan pada anak untuk terus mengulangi perbuatan tersebut,” terangnya.
Hamidah menjelaskan, untuk memulihkan anak yang ketagihan seks bukan lah perkara mudah. Menurut dia, dibutuhkan pendampingan khusus dari psikiater. Lagi-lagi perang orang tua menjadi vital untuk turut andil menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada korban.
“Pemulihan dibutuhkan waktu setahun lebih. Saya fikir pemerintah bisa melibatkan pesantren. Jadi, pemulihan si anak dilakukan di lingkungan pesantren,” jelasnya.
Akan tetapi, dari studi kasus itu, tindakan preventif menjadi pilihan utama agar kasus serupa tak menimpa anak lainnya. Menurut Hamidah, pendidikan seks untuk anak wajib dilakukan orang tua sejak dini, yakni sejak usia 3,5 tahun.”Orang tua menanamkan kepada anaknya bahwa alat kelamin tidak boleh dipegang orang lain. Mulai menanamkan nilai-nilai keagamaan,” cetusnya.
Tak hanya itu, pendidikan seks juga harus berlanjut hingga anak mencapai usia remaja. Orang tua wajib merubah cara pandang bahwa membicarakan seks dengan anak bukan lagi hal tabu. Pasalnya, lanjut Hamidah, tren seks bebas saat ini mulai subur di Mojokerto. Itu terbukti dengan terus meningkatnya permintaan dispensasi nikah di Pengadilan Agama.
Yang perlu menjadi perhatian, kasus hamil di luar nikah biasa terjadi dalam tempo 4 bulan pasca perayaan hari besar dan kelulusan sekolah. Artinya, remaja saat ini cenderung merayakan momen-momen spesial dengan berhubungan seks.
“Orang tua wajib menanamkan bahaya seks pra nikah kepada anaknya di usia remaja. Baik resiko kesehatan, maupun resiko sosial lainnya,” pungkasnya. (bud/uyo)