IM.com – Tak bekerja sendiri, kini Panwaslu Kota Mojokerto menggandeng beberapa elemen masyarakat untuk mengawasi berbagai kecurangan di Pilwali 2018. Salah satunya mereka menggandeng para santri dan anggota Pramuka.
Ketua Panwaslu Kota Mojokerto Elsa Fifajanti mengatakan, setidaknya ada tiga pemilu yang harus diawasi ke depan. Meliputi Pilwali Mojokerto dan Pilgub Jatim 2018, serta Pileg 2019.
Sementara jumlah personil untuk mengawasi jalannya pesta demokrasi masih terbatas. Komisioner di tingkat kota akan dibantu Panwascam di 3 kecamatan dengan 3 personil di masing-masing kecamatan.
Disusul kemudian rekrutmen petugas pengawas lapangan (PPL) 1 orang di setiap kelurahan dan pengawas TPS 1 orang di setiap TPS.
“Personil yang ada akan kurang maksimal tanpa pengawasan partisipatif dari masyarakat,” kata Elsa saat sosialisasi pengawasan partisipatif ke wartawan di kantornya, Jalan Semangka, Perumahan Magersari, Kota Mojokerto, Rabu (27/12/2017) lalu.
Oleh sebab itu, lanjut Elsa, pihaknya menggandeng unsur Pramuka, santri, ormas dan awak media untuk mengawasi berbagai kecurangan selama Pilkada berlangsung. Sosialisasi terkait berbagai bentuk kecurangan pun sudah dilakukan.
“Kami sudah menyentuh Pramuka, ormas, 15 pesantren dan awak media. Harapannya bisa membantu kami untuk mengawasi berbagai kecurangan,” ujarnya.
Setiap laporan dugaan kecurangan yang masuk, kata Elsa, akan ditindaklanjuti oleh Panwaslu dengan batas waktu 5 hari untuk mengumpulkan alat bukti. Proses dilanjutkan dengan rapat pleno guna menentukan jenis pelanggaran.
“Kalau bentuknya pidana, kami bawa ke Sentra Gakkumdu. Kalau bentuknya sengketa selesai di masing-masing tingkat panwas, kalau tak puas bisa ke PTUN,” terangnya.
Komisioner Divisi Pengawasan dan Pencegahan Panwaslu Kota Mojokerto Ulil Absor menambahkan, model pengawasan partisipatif dipilih juga akibat semakin banyaknya bentuk-bentuk kecurangan. Hal ini seiring kemajuan teknologi informasi.
Menurut dia, di semua tahapan Pilwali Mojokerto dan Pilgub Jatim 2018 nanti, rawan diwarnai kecurangan. Salah satunya yang diprediksi bakal marak terjadi adalah permainan politik uang (money politics).
Hukuman untuk kecurangan ini pun diperberat. Bahkan sanksi pidana menyentuh tiga elemen, yakni pemberi uang, penerima uang dan pasangan calon yang berkepentingan.
“Di dalam UU Pilkada No 10 tahun 2016, pelaku money politics diancam pidana minimal 3 tahun penjara, berlaku sama bagi yang menerima. Untuk pasangan calon bisa dibatalkan jika terbukti,” tandasnya. (kus/uyo)