Para kepala desa dalam AKD yang sebagian besar mencalonkan diri lagi pada pIlkades serentak 23 Oktober 2019.

IM.com – Puluhan calon kepala desa petahana mengadu ke Komisi I DPRD Kabupaten Mojokerto.  Mereka meminta dewan menyampaikan desakan kepada Wakil Bupati Pungkasiadi agar merevisi pasal 15 Peraturan Bupati Nomor 83 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pilkades yang diubah dalam Perbup 19 tahun 2019 karena dianggap banyak merugikan calon petahana.

Hal yang paling meresahkan bagi para cakades petahan pada pasal 15 Perbup tentang perubahan atas Perbup Nomor 8 Tahun 2016 itu adalah adanya sistem skoring sebagai seleksi tambahan jika jumlah kandidat lebih dari lima orang. Para calon petahana yang tergabung dalam Asosiasi Kepala Desa (AKD) merasa dirugikan oleh aturan ini.

“Dengan sistem skoring ini, kami calon petahana bisa mudah tereliminasi oleh calon lain yang pendidikannya lebih tinggi atau usianya muda, meskipun tidak pengalaman,” kata Anton Fatkhurrohman, Kades Bangsal yang kembali mencalonkan diri pada Pilkades serentak 2019 usai hearing dengan Komisi I di Gedung DPRD Kabupaten Mojokerto, Senin (5/8/2019).

Pasal 15 memang menyebutkan, apabila bakal cakades yang memenuhi persyaratan lebih dari 5 (lima) orang, panitia akan melakukan seleksi tambahan dengan beberapa model. Pertama, seleksi tambahan dilakukan oleh Panitia Pemilihan dengan melakukan pemeringkatan (skoring).

Kedua, dengan perhitungan bobot nilai dari beberapa kategori, yakni pengalaman mengabdi di pemerintahan, pendidikan dan usia. Yang paling meresahkan bagi calon petahana barangkali, bobot untuk pengalaman sangat sedikit atau berat dicapai.

Misalnya, bakal calon yang punya punya masa pengabdian pada lembaga pemerintahan kurang dari 11-15 tahun, bobotnya hanya 2. Sementara untuk pendidikan, bakal calon yang bergelar sarjana atau Diploma IV bisa memiliki skor 4.

Demikian pula pemeringkatan usia. Lebih muda usia bakal calon (minimal 25 tahun) bobotnya skornya semakin tinggi.

Kemudian seleksi tambahan ketiga adalah skoring untuk nilai IPK untuk lulusan perguruan tinggi, Nilai Ujian Nasional (NUN) untuk SMA serta pemeringkatan usia berdasar tanggal dan bulan lahir. Seleksi ketiga ini diberlakukan apabila hasil dua seleksi sebelumnya belum bisa mengeliminasi jumlah bakal calon hingga batas maksimal lima orang.

“Aturan ini rumit dan tidak menguntungkan bagi kami (calon petahana). Jangan membatasi hak kami. Maka kami mendesak revisi perbup yang lebih demokratis dan mengedepankan rasa keadilan,” tandas Anton.

Lebih jauh, Anton menilai, sistem skoring itu bisa memicu terjadinya konflik horizontal antar calon dan pendukungnya. Menurutnya, gesekan bisa terjadi antara kelompok calon yang berpotensi tidak lolos karena sistem skoring dengan kandidat yang belum berpengalaman atau dari luar desa.

“Revisi Perbup harus dilakukan sehingga tidak membuka peluang terjadinya konflik. Hari ini mudah-mudahan aspirasi kami bisa sampai di pimpinan dewan, kemudian besok atau lusa disampaikan ke pemkab,” tutur Sekretaris AKD Kabupaten Mojokerto itu.

Menyikapi aspirasi AKD ini, Kusairin Ketua Komisi I DPRD mengatakan, pihaknya secepatnya menyampaikan aspirasi mereka ke pimpinan dewan. Selanjutnya, pimpinan yang akan mengajukan surat sesuai permohonan AKD melalui komisi i ke pemkab.

“tuntutan (revisi Pasal 15 Perbup tentang Juklak Pilkades) wajar melihat gejolak dan potensi masalah yang muncul di lapangan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, ada beberapa hal dalam Perbup 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bupati Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Juklak Pilkades yang menjadi sorotan AKD dan Komisi I untuk direvisi.

Pertama, ketentuan pasal 15 tentang seleksi tambahan apabila bakal calonyang memenuhi syarat lebih dari lima orang. Kedua, Perbup juga harus meregulasi syarat tertentu untuk bakal calon dari luar desa.

“Harus ada rumusan syarat khusus yang membedakan calon dari luar (desa) dengan asli daerah itu,” tandasnya.

Ketiga, klausul untuk masa pengabdian bakal calon harus lebih dirinci lagi.

“Pengabdian dari perangkat desa biasa seperti Ketua RT mestinya bobotnya tidak bisa disamakan dengan kepala desa,” cetusnya.

Tatang Marhaendrata (kiri) Kabag Hukum Sekretaris Daerah Kabupaten (Setdakab) Mojokerto bersama Ardi Sepdianto, Kepala DPMD Kabupaten Mojokerto

Sedangkan Kabag Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Mojokerto, Tatang Marhendrata, justru merasa aneh dengan protes AKD. Sebab, selama ini regulasi yang mengatur skoring dan bobot calon kades tidak pernah dipermasalahkan dalam beberapa pilkades sebelumnya.

”Tahun – tahun sebelumnya tidak ada masalah. Saat itu ada yang mengganjal, keluhannya disampaikan. Tapi sekarang tiba-tiba dipermasalahkan, pasti ada sesuatu,” tandas Tatang.

Menurut Tatang, revisi peraturan tidak bisa begitu saja dilakukan. Ia menyatakan, harus ada dasar kuat untuk melakukan perubahan aturan.

“Misalnya tidak sesuai dengan UU atau peraturan di atasnya.  Atau harus ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” tegasnya. (im)

284

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini