
IM.com – Polemik terkait hasil Pilkades serentak 2019 di Kabupaten Mojokerto mulai bermunculan. Selain Desa Purwojati, Ngoro, aksi massa menolak hasil Pilkades terjadi di Desa Gayaman, Kecamatan Mojoanyar.
Massa pendukung calon kepala desa (cakades) nomor urut 2 Joko Wahyudi berunjuk rasa di balai Desa Gayaman, Selasa (29/10/2019). Mereka memprotes hasil pilkades yang dinilai sarat kecurangan.

“Ini kecurangan sistematis dan masif. Ada nepotisme, di sini keluarga semua,” tandas Tejo Wakisan, salah satu pendukung cakades nomor urut 2.
Indikasi kecurangan pertama yang dibeber pendukung Joko Wahyudi adalah ada 900 lebih surat suara yang tercoblos untuk cakades jagoan mereka dinyatakan tidak sah oleh panitia.
Padahal surat suara yang dianggap tidak sah sebanyak itu sangat signifikan bagi cakades Joko Wahyudi mengingat perolehan suaranya dengan cakades nomor urut 1, Khamim Gozali terpaut tipis.
Panitia menyatakan , cakades nomor urut 1 Khamim Gozali menang dengan 1.191 suara. Unggul tipis dari lawannya, Joko Wahyudi yang meraih 1.085 suara dari total 3.222 pemilih yang hadir.
“Banyak yang dinyatakan tidak sah mencapai 946 surat suara, 80 persennya tercoblos pada kolom calon nomor urut dua,” tandas Wakisan.
Wakisan mengungkapkan, ratusan surat suara tersebut memang terdapat dua lubang coblosan. Namun, menurutnya, lubang yang dicoblos pemilih sesungguhnya ada di kolom calon nomor urut 2.
Sementara satu lubang lain diakibatkan coblosan yang tembus karena pemilih tidak membuka lipatan suara secara utuh.
“Hanya satu kali buka sudah terlihat gambar Cakades, melihat gambar cakades pilihannya langsung mencoblos. Jadi tembus ke lipatan baliknya tapi tidak sampai masuk di kolom nomor urut 1,” ungkapnya.
Untuk memperkuat pendapatnya, Wakisan merujuk Pasal 45 dalam Tata Tertib (Tatib) Pilkades 2019. Berdasar aturan pasal tersebut, imbuhnya, surat suara dianggap tidak sah apabila terdapat lebih dari satu kali tanda coblos calon yang berbeda.
“Jadi 900an surat suara yang ada dua lubang coblosan itu seharusnya itu dianggap sah untuk pasangan nomor 2,” cetusnya.
Sinyal terjadinya kecurangan sistematis lain yang dibeber Wakisan adalah kurangnya sosialisasi dari panitia Pilkades kepada masyarakat terkait aturan pencoblosan dan surat suara sah. Hal ini yang menyebabkan banyak pemilih tidak ambil pusing untuk membuka surat suara secara utuh sebelum mencoblos hingga mengakibatkan lubang coblosan tembus ke kolom calon lain.
“Sosisalisainya sangat kurang. Tidak ada alat peraga dan tata cara pencoblosan di TPS. Bahkan panitia tidak memasang foto calon di lokasi TPS,” ujarnya. Selain itu, lanjut Wakisan, panitia tidak melibatkan pihak pemkab, kecamatan maupun linmas dalam proses pelipatan surat suara.
“Karena bentuk lipatan surat suara juga menentukan. Seharusnya dua kali dibuka baru terlihat Cakades. Yang ini (surat suara Pilkades Gayaman) tidak seperti biasanya,” paparnya.
Dari sejumlah tengarai kecurangan itu, para pendukung caKades Gayaman nomor urut 2 menuntut pemilihan suara ulang. “Kalau tidak, ya harus hitung ulang,” tegas Wakisan.
Aksi massa pendukung cakades ini sempat dimediasi oleh pihak perangkat desa disaksikan aparat kepolisian. Proses mediasi berlangsung dalam tensi tinggi, dimana massa pendukung cakades nomor 2 beberapa kali terlibat adu mulut dengan panitia Pilkades berlangsung panas.
Beruntung aparat kepolisian bisa meredam emosi massa sehingga tidak sampai terjadi tindakanyang anarkis. Proses mediasi akhirnya tidak membuahkan hasil (deadlock) karena kedua belah pihak bersikukuh pada pendapatnya.
Pihak panitia Pilkades dan BPD menolak menggelar pemungutan atau penghitungan suara ulang. Mereka menganggap hasil pilkades sudah sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku.
Sudah sesuai, tidak ada yang kurang. Suara yang tidak sah sebanyak 946 suara tersebut, kondisi riil nya memang seperti itu. Satu coblosan, lubang dua. Pelipatan benar sesuai Tatib, hanya masyarakat yang kurang kontrol, membuka kurang maksimal,” jelas Ketua BPD Gayaman, Affandi.
Selanjutnya, Affandi mempersilahkan pihak cakades 02 menempuh jalur hukum jika memang masih merasa tidak puas dengan hasil pilkades. Pihaknya juga menyerahkan persoalan ini ke Pemkab Mojokerto.
“Karena mediasi tidak ada hasil. Langsung lewat jalur hukum saja. Kita tunggu hasil (putusan hukumnya). Tuntutan itu kan versi 02 yang menuntut. Kalau dari panitia, itu sudah maksimal,” tuturnya.
Selain Desa Gayaman, Pilkade di sejumlah desa lain juga menuai sengketa. Seperti Desa Purwojati, Kecamatan Ngoro; Desa Pagerluyung Kecamatan Gedeg dan Desa Kebontunggul Kecamatan Gondang. Rata-rata sengketa dipicu persoalan yang sama yakni banyaknya surat suara yang dinyatakan tidak sah.
Menanggapi persoalan ini, Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Mojokerto, Ardi Sepdianto akan memperlajari lebih lanjut. Pihaknya tidak mau gegabah dalam menyelesaikan sengketa pilkades.
“Semua laporan masuk akan dibahas secara detail oleh tim. Ttim yang akan membahasnya,” ujarnya. (im)