Oleh: Rifan Hanum*
Pelaporan terhadap oknum kepala desa (kades) di Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto yang diduga melanggar netralitas dalam Pilkada tengah menjadi perbincangan hangat publik. Pro kontra mengemuka soal cara Bawaslu menangani laporan dan menindak terlapor.
Terlapor adalah Kades berinisial EYA yang dilaporkan ke Bawaslu. Dia dilaporkan atas kelakarnya yang dinilai menyudutkan salah satu pasangan Cabu-Cawabup. Perkataannya direkam video yang beredar luas di media sosial maupun whatsapp grup warga Mojokerto.
Namun dalam pengakuan yang diangkat oleh sejumlah media massa, terlapor EYA mengatakan jika video tersebut hanyalah gurauan belaka tanpa bermaksud untuk melakukannya. Artinya, keputusan/tindakannya (yang dilakukan dalam video tersebut) yang patut diduga merugikan salah satu pasangan calon pasal 71 jo 188 UU No 10 Tahun 2016.
Dan anehnya, baru beberapa hari laporan terhadap Kades EYA masuk, Bawaslu sudah melimpahkan berkas terlapor ke Sentra Gakkumdu. Maka wajar, jika sejumlah kalangan menganggap, Bawaslu terlalu berlebihan dalam menangani laporan tersebut.
Banyak pihak mempertanyakan penanganan Bawaslu terhadap suatu laporan sudah sesuai prosedur atau tidak. Pasalnya, sejak laporan terhadap EYA dilayangkan, Bawaslu sepertinya belum pernah meminta keterangan paslon yang disebut dalam pelaporan dan penegasan bahwa dirinya merasa dirugikan atas gurauan EYA.
Kalaupun memang merasa dirugikan, tentunya masyarakat awam seperti penulis ini, patutlah bertanya kepada Bawaslu Kabupaten Mojokerto beserta Sentra Gakkumdu berapa nilai kerugiannya baik secara materiil maupun secara immaterial. Alat ukur apa yang dipakai untuk menentukan besaran kerugian yang diderita atas perbuatan tersebut.
Tentunya hal ini haruslah dirinci secara detail oleh JPU dalam menyusun dakwaan nantinya, agar khalayak umum tidak menaruh curiga jika perkara ini adalah perkara politis.
Dalam perkara Pidana dikenal asas “bukti-bukti haruslah lebih terang daripada cahaya” atau dikenal dalam bahasa latin “In Criminalibus Probantiones Bedent Esse Luce Clariore”. Sebab, tanpa bukti yang kuat dan penetapan statusnya dengan tegas, maka terlapor pun akan dirugikan atas proses penanganan laporan dugaan pelanggaran yang belum jelas kebenarannya.
Kondisi dirugikan itu sudah dirasakan oleh terlapor. Citranya bakal tercemar karena dugaan pelanggaran netralitas yang membelitnya sudah diberitakan oleh media massa selama berhari-hari, bahkan dengan menyebut namanya secara terang dan lengkap disertai foto dirinya.
Dalam perkara ini, Ketua Bawaslu Kabupaten Mojokerto dalam kajian awal pastinya sudah melengkapi syarat formil maupun materiil yang disyaratkan oleh Perbawaslu No 9 Tahun 2024 Pasal 17 yaitu a. identitas penemu dugaan Pelanggaran Pemilihan; b. waktu penetapan Temuan tidak melebihi ketentuan batas waktu paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak Laporan hasil pengawasan dibuat; c. identitas pelaku; d. uraian kejadian; dan e. bukti.
Yang dimaksud dengan bukti dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP mengatur tentang alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, sebagai berikut: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Patutlah Kita bertanya kepada pihak yang memproses perkara ini atau bahkan kepada Saksi Ahli (yang menurut pemberitaan sudah diperiksa).
Apakah seseorang yang sedang mengobrol bercanda dengan rekan-rekannya yang kebetulan mengandung gurauan yang menurut anak jaman sekarang “gurauan tepi jurang” dapat mengakibatkan seseorang patut menjadi seorang tersangka. Hal itu belum tentu. Bahkan pada saat persidangan nanti, penegak hukum sangat mungkin akan kesulitan membuktikan kerugian apa yang diderita salah satu pasangan Cabup dan Cawabup Kabupaten Mojokerto.
Menilik pasal yang dikenakan kepada EYA selaku terlapor. Jika Kita cermati menurut sifat deliknya adalah delik aduan, harus ada laporan terlebih dahulu baru perkara ini bisa diproses lebih lanjut. Menjadi pertanyaan selanjutnya jika Pelapor yang bukan konstestan pemilu, apakah dia memang benar merupakan warga Mojokerto yang akan menjadi salah satu bagian masyarakat yang akan memilih (bukan dipilih) sehingga laporan tersebut diterima begitu saja oleh Bawaslu.
Bahkan Bawaslu tanpa memeriksa salah satu pasangan calon yang menurut pasal a quo haruslah menguntungkan atau merugikan pasangan calon. Jika menurut pemberitaan EYA sebagai Kepala Desa mengkampeyakan Pasangan Idola, apakah pasangan Idola merasa diuntungkan dengan apa yang dilakukan Terlapor.
Sebagian Ahli Hukum berpendapat jika Pasal 71 Ayat (3) jo 188 UU tentang Pilkada frasa menguntungkan/ merugikan adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dilanggar tersebut. Namun perlu pula dicermati apakah Terlapor (EYA) melakukan perbuatan tersebut berniat dengan sengaja (means rea) untuk merugikan/ menguntungkan pasangan calon tertentu.
Menurut teori pengetahuan (voortellingstheorie) haruslah digali lebih jauh. Yaitu pelaku bisa dijerat dengan pasal pidana jika ia secara sadar dan sengaja dengan yang akan dilakukannya (minimal membayangkan) akan mengakibatkan menguntungkan/ merugikan pasangan calon tertentu.
Kesimpulan:
Penyelenggara Pemilu harus memahami tugas, wewenang dan kewajiban dengan didukung keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas (DKPP RI No 2/2017 Pasal 6 Ayat (3) huruf f).
Penulis berpendapat jika apa yang dialami oleh Terlapor selaku Kades Aktif, dengan maraknya pemberitaan yang sangat massif dan sangat fulgar bahkan mengarah kepada Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik termasuk trial by the press. Bawaslu Kabupaten Mojokerto beserta Sentra Gakkumdu yang telah melimpahkan perkara ini ke Polres Mojokerto, sangatlah terburu-buru mengambil suatu kesimpulan dan berpotensi sangat merugikan Terlapor. Sebab, jika Bawaslu Kabupaten Mojokerto bertindak profesional dalam merilis informasi yang belum terbukti kebenarannya, maka wartawan yang meliput perkara ini tentu belum tentu mengetahui identitas Terlapor.
*Penulis merupakan Senior Advisor
pada Kantor Hukum H. Rifan Hanum & Nawacita